Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengirim Anak ke Pondok Itu Kuat-kuatan Orang Tua

26 Maret 2019   04:18 Diperbarui: 27 Maret 2019   21:04 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, perlu komitmen serta tekad teguh, ketika memutuskan mengirim anak menimba ilmu di Pondok Pesantren (Ponpes).

Sudah sunatullah, bahwa menimba Ilmu (di mana saja) pasti ada tantangan, tetapi bahwa di Ponpes tantangannya jauh berbeda, setidaknya itu yang saya rasakan. Mengirim anak ke Ponpes, berarti siap berpisah sementara waktu, tidak bisa saban hari melihat dan bertemu dengan anak dikasihi.

Anak-anak belajar menempuh kesehariannya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan sekaligus mengatasi resiko atas setiap keputusannya. Ia akan bersosialisasi dengan lingkungan baru, berproses tanpa campur tangan orangtua kandung (tetapi tenang, kan ada para ustad). Anak-anak belajar pada ruang kelas dan ruang kehidupan nyata, bersama teman seangkatan, kakak kelas atau warga di sekitaran Ponpes.

Sementara para orang tua, juga dituntut untuk terus belajar, menahan diri tidak (sedikit-sedikit) mencampuri urusan anak-anak. Orangtua jangan terlalu responsif dan siap turun tangan, ketika anak-anak menemui tantangan, ketika anak-anak belajar menyelesaikan masalah.

"Mengirim anak ke Pondok itu kuat-kuatan, "nasehat ustad di awal masuk pondok terus terngiang.

---

"Kakak kesel, di kelas ada yang bully"

Orangtua mana tidak sedih, mendapati anaknya sesenggukan pada saat disambangi, seperti ada yang sesak dan menggumpal di dadanya.

"Kakak dikatain ini dan itu,mau ngapa-ngapain diikutin dan disalah-salahin" ujarnya

Mendengar curhatan seperti ini, rasanya tak tahan berdiam diri, pengin nyamperin anak yang membuat jagoan ini bersedih.

Suasana di pondok- dokpri
Suasana di pondok- dokpri

Tapi tahan dulu, kepala musti tetap dingin, agar bisa berpikir waras, bahwa ketidaktahanan yang dirasakan orangtua, tidak lebih luapan emosi sesaat. Kalau sudah bergelar orangtua, artinya sudah melintasi aneka masalah dan pahit getir pengalaman, seharusnya punya kadar kesabaran lebih, Lagian coba pikir dan renungkan, lucu kan, kalau seorang ayah atau ibu yang sudah dewasa, berhadapan dengan anak seumuran anaknya-- hehehe. 

Apalagi kalau si orangtua, kemudian membuat perhitungan dengan anak (yang membully), biasanya disertai gertakan ini dan itu agar membuat keder.

HALLOOO, untuk alasan apapun, tidak sepatutnya orangtua mengumbar amarah dengan cara mengomeli anak orang lain (yang mem-bully). Kalau itu si anak mengadu balik ke orangtuanya, kemudian ayah atau ibunya tidak terima, bisa-bisa masalah jadi berlarut-larut kan ---hadeuh.

Terus bagaimana dong sikap orangtua ? yang perlu dikuatkan adalah anak kita sendiri, dinasehati dan diberi pengertian semampunya. Bahwa apa yang kini tengah dia alami, adalah pupuk yang akan menyuburkan pohon mental bagi keperkasaan dan kemandirian kelak.

Mengalami dibully, bisa menjadi kesempatan belajar mengasah sikap empati, jadi tahu bagaimana rasanya ketika melihat orang lain berada di pihak dia (seperti) saat ini. Hanya dengan sikap empati, akan menuntun seseorang, tidak berlaku dan menghindari sikap tidak mengenakkan seperti pernah dirasakan.

"Tapi, masa kakak harus ngalah terus," bantahnya

"Kalau sudah keterlaluan, sesekali  gak papa dilawan," ujar saya

Melawan, bisa menjadi senjata terakhir, setelah si pembuly berbuat kebablasan dan membuat anak kita merasa terganggu. Tapi usahakan mengajari anak, melakukan perlawanan tidak langsung secara fisik, melainkan dengan cara yang elegan (misalnya berunding).

Pada satu kesempatan sewaktu menyambangi, secara tidak sengaja saya bertemu dengan anak yang membully  anak saya. Saya melihat garis wajah dan mimik ala anak ABG, memandangi perawakan yang dalam masa pertumbuhan, memperhatikan gesture, tiba-tiba jiwa keayahan ini mengemuka.

"Teman-teman anak di Pondok, sejatinya tak ubah seperti anak saya sendiri," bisik batin ini.

Keadaan mereka sama seperti anak kita sendiri, jauh dari orangtua, berada pada masa mencari jati diri, mengalami peralihan dari masa kanak menuju remaja. Justru saya tidak tega, kalau marah-marah mengumbar caci maki, karena pembulyan telah dilakukan pada anak saya.

Biarlah masalah anak-anak menjadi masalahnya, biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan, kita orangtua memberi pengarahan dan nasehat terbaik.

Kebetulan Ustad membuat WA Group untuk wali santri, hal ini tentu memudahkan komunikasi, apabila ada keadaan yang perlu penanganan langsung dari ustad. 

---

Untuk satu keperluan, saya pernah mengantar anak balik ke Pondok (setelah ijin libur karena sakit) pada jelang malam hari (sekira pukul 20.00).

'NYEEEEES' tiba-tiba sanubari ini mendadak adem, mendengar suara mudzakarah, di ruang lain ada yang barzanji, dari sudut teras ada yang menajamkan hapalan surat Quran.

Malam itu saya merasakan keteduhan, meyakini bahwa atmosfir seperti ini berpengaruh dalam pembentukan karakter anak-anak. Situasi seperti ini, tidak akan pernah didapati di rumah, suasana rumah sesuai mood dan kebiasaan anggota keluarga yang ada.

Orangtua mana tidak bahagia, melihat air muka kalem pada anak kesayangan, dihiasi sikap hormat dan patuh pada ayah ibunya. Satu dua bulan pertama mondok, saya merasakan perubahan, bahwa lelaki puber ini semakin santun, jawaban itu nyambung ketika saya dapati dan merasakan suasana malam di Pondok.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri

"Ayah, Kakak abis jatuh, sendi tangan kakak geser" terdengar suara menahan kelu, melalui nomor handphone ustad yang mengantarkan ke tukang pijit sangkal putung. Sontak kepala ini mendadak berat, kalau saja di punggung ini tumbuh dua sayap, rasanya pengin langsung terbang menemui anak disayangi.

"Mengirim anak ke Pondok itu kuat-kuatan." Di atas roda dua sepanjang perjalanan, nasehat ustad kembali terngiang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun