Seminggu setelah menikah, saya ajak istri pindah ke rumah kontrakan (tujuh hari kami ditahan tinggal menginap di rumah orangtua). Kami pindah ke rumah petak tiga ruang (masih satu daerah dengan orangtua), sudah saya sewa dan tempati empat bulan sebelum ijab dilaksanakan.
Istri menyulap ruang tengah, menjadi tempat jualan aneka kerudung, mukena, pasmina, bergo, bros dan barang sejenisnya. Lumayan, Istri jadi punya kesibukan dan pemasukan, kalau pagi saya ngantor tidak kesepian karena ada saja pembeli datang.
Layaknya tinggal di lingkungan rumah kontrakan, kalau sore di hari libur biasanya banyak anak-anak bermain di tanah lapang tak jauh dari rumah. Suara riuh tawa dan wajah berseri anak-anak mengemuka, suasana ramai di seputaran rumah membuat sore hari terasa lebih hidup.
Dari sekian anak yang bermain dan saya temui, ada satu gadis mungil (usia kira-kira 3 tahunan) cukup menyita perhatian. Pasalnya gadis ini memiliki dua bola mata bundar kecokelatan, rambutnya ikal sedikit pirang, kulitnya kuning langsat menarik perhatian.
"Bun, itu anak, cantik banget ya"
"Iyalah, ibunya cantik ayahnya ganteng" balas istri
Ibunya seumuran dengan istri, ternyata sudah saling kenal meski tidak terlalu akrab, sekedar saling tahu tetapi jarang berinteraksi. Menilik dari penampilannya, saya menarik kesimpulan bahwa gadis ini kurang terawat, baju dikenakan lusuh rambut dikucir sekenanya dan badan tidak terawat.
"Kasihan, istrinya yang kerja, malah suaminya di rumah," lanjut istri
Saya diam, tidak berselera melanjutkan obrolan lebih panjang, biarlah urusan rumah tangga orang lain menjadi urusannya sendiri. Katakan si suami (misalnya memang) tidak bekerja, toh nyatanya istri tetap menerima (entah dengan rela atau terpaksa).
Meski tidak terucapkan, tiba-tiba hati kecil saya berontak, bahwa sudah seharusnya tugas sebagai pencari nafkah adalah tanggung jawab lelaki.
-----
Sewaktu duduk di bangku SMP, saya dan kakak (usia terpaut dua tahun) punya panutan untuk urusan gaya berpakaian -- maklum namanya juga ABG. Dia adalah kakak kelas, anak tetangga yang sudah SMA, baju dengan model dan warna apa saja yang menempel di badannya selalu terlihat keren.
Didukung parasnya yang tampan rupawan, membuat para cewek remaja di kampung kecil kami, kerap membicarakan anak tetangga ini. Sementara saya dan kakak, hanya bisa (sebatas) meniru gaya berpakaian saja, dari sisi wajah dan rupa tentu tidak bisa menyamai -- pastinya jauh, hehehe.
Setelah lulus SMA saya merantau, otomatis kampung dan dunia masa kecil ditinggalkan dan tidak saban hari mengikuti perkembangan. Saya bergulat dengan kerasnya perjuangan hidup, prioritas dicapai mulai bergeser, bagaimana meningkatkan kompetensi diri untuk bersaing di dunia kerja.
Dalam setahun, saat masih bujangan saya pulang kampung tiga atau empat kali (itupun hanya satu atau dua hari), tidak sempat ketemu teman lama. Melalui cerita ibu yang telepon dua kali seminggu, baru saya bisa update kejadiaan apa saja sedang berlangsung di desa.
"Perempuan dilamar ya pikir-pikirlah, emang ganteng saja bisa bikin kenyang" suara ibu dari ujung telepon
Ya, Ganteng saja tidak Cukup --Â Sepanjang menjalani pahit dan getir pengalaman hidup, perlahan-lahan sudut pandang saya mulai bergeser. Tidak lagi melihat orang dari sekedar penampilan luar saja, tidak terpaku pada wujud fisik yang tampak di pandangan mata.
Menurut saya, orang dinilai dari sikap dan ucapan, dari bagaimana bisa membawa diri dan bertanggung jawab pada apa yang dihadapi. Dan lelaki akan menjelma tampan, ketika dia menjadi sosok penuh tanggung jawab dan menjaga amanah kehidupan yang dipanggulnya.
Bagi perempuan, sebaiknya tidak terkecoh  pria dengan tampilan wajah tampan rupawan saja, karena hal itu tidak bisa menjadi (satu-satunya) jaminan kebahagiaan. Perempuan musti membuka pertemanan, berkumpul dengan banyak orang baik di lingkungan yang baik, agar besar kemungkinan dilamar laki-laki yang baik.
Saya setuju dengan quote "Harga diri lelaki adalah Bekerja", setampan apapun rupa lelaki dijadikan suami, kalau tidak bekerja untuk apa (kecuali ada udzur, misalnya sakit parah dan kepayahan, wallahu'alam bissawab).
------
"Hallo Mas, apa kabar, lama nggak ketemu" sapa saya.
Seorang pria paruh baya dengan tubuh gempal, Â tidak sengaja berpapasan ketika saya mau nyekar ke makam almarhum ayah. Wajahnya tidak asing meskipun tampak kerutan di sana sini, dan inilah kakak kelas panutan ketika saya beranjak remaja.
Gurat ketampanan masa muda itu masih membekas, tapi tampak tidak terawat dan tidak begitu dipedulikan lagi.
"Ibunya yang jodohin, itupun setelah dipaksa-paksa" ujar ibu
Saya jadi tersenyum geli, mendapati pria setampan kakak panutan, justru menikahnya harus dipaksa dijodohkan, pada usia mendekati kepala empat.
"Di rumah sampai kapan?" balasnya mengakrabi.
Percakapan basa-basi seperlunya, sampai akhirnya saya pamit buru-buru ke pemakanan mengingat langit mulai mendung.
Para jomblo dengan paras yang standard (saya banget ini--hahaha), janganlah bekecil hati, karena ganteng saja tidak cukup. Asal menjadi lelaki pekerja keras dan bertanggungjawab, niscaya akan datang bidadari beruntung yang setia mendampingi. -- Amin--
Sementara bagi kalian yang (dari sononya) tampan, bersyukurlah, jadikan pelecut untuk bekerja keras dan membuat diri berharga di mata pasangan hidup dan keluarga - smoga bermanfaat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H