Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguji Kalimat "Dunia Milik Berdua" Melalui Pernikahan

17 Maret 2019   05:40 Diperbarui: 17 Maret 2019   05:47 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Dunia Milik Berdua'-- Kalimat ini rasanya tepat, menggambarkan betapa indahnya  awal pernikahan yang tidak bisa disangkalkan. Masa bulan madu, namanya juga madu pasti manis dong, apapun tampak dipandangan serba mengesankan dan menyenangkan.

Sang suami menjelma menjadi sosok yang penuh perhatian, di bibirnya tak pernah lepas dari senyum terbaik, tak ingin belahan jiwa merana dan lepas perhatian. Sementara sang istri penuh pengabdian, menerima dan menuruti segala nasehat serta keinginan sang imam demi kepatuhan.

"Dek, abang merasa beruntung banget, punya istri seperti kamu","Adik juga demikian, sangat bahagia bersanding dengan Abang"

Puja puji terlontarkan, satu sama lain saling berlomba untuk menyenangkan pasangan, persis seperti perumpamaan 'Dunia Milik Berdua'

Sehari dua hari kebersamaan, waktu berubah menjadi minggu, kemudian tiba-tia sudah dalam hitungan bulan, setelah itu genap duabelas menjadi tahun.

Sifat tersembunyi perlahan-lahan terbuka, karakter yang semula ditutup-tutupi mulai mengemuka, semua yang tidak tampak mulai tidak bisa bisa disembunyikan.

Coba, bagaimana suami dan atau istri bisa jaim, kalau dalam duapuluh empat jam sehari,  sepanjang tujuh hari dalam seminggu waktu lebih banyak dilewati bersama.

Mulai dari muka kucel akibat bangun tidur, mulut masih bau, rambut acak-acakan, kemudian berubah bersih rapi, balik ke rumah sampai jelang tidur malam dilihat adalah orang yang sama.

Kalau orang bilang, tahun pertama sampai kedua pernikahan sebagai adaptasi tidak salah, maka siap-siap saja dengan kekagetan demi kekagetan.

Suami dan atau istri hakikatnya adalah dua pribadi berbeda, butuh upaya saling memahami agar langkah keduanya seiring sejalan.

Naik turun kehidupan pernikahan mulai djalani, sedih dan senang dalam kebersamaan mulai dilalui, semua butuh kerjasama dua pihak.

Kalau mau berpikir sejenak, ketidakenakkan demi ketidakenakan (sebenarnya) memang dibutuhkan, justru sebagai jalan untuk merekatkan hubungan suami istri.

Masa pedih dilalui yang dalam pernikahan, sesungguhnya bisa menjadi peluang untuk saling membahu dan saling mengokohkan satu sama lain.

Sangat penting bagi suami dan atau istri, masing-masing terus belajar bertoleransi, belajar memaklumi perbedaan dan kebiasaan satu sama lain.

------

Coba amati sol sepatu, untuk menyatukan, mula-mula seluruh permukaan alas dan pinggiran sepatu harus diolesi lem secara merata.

Setelah lem dioles pada dua permukaan, harus diangin-anginkan beberapa saat sampai lem setengah mengering, setelah siap direkatkan sepatu diketok-ketok beberapa kali. Hasilnya, dua bagian sepatu lengket dan kuat,  menjadi sepatu yang kuat siap dipakai melewati panas dan hujan.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Persis seperti kehidupan pernikahan, mengoles lem ibarat bersiap dan merelakan diri, sebelum akhirnya suami dan istri disatukan.

Masing-masing bagian tidak boleh mengedepankan ego, terserah si tukang sol sepatu, pada bagian mana dioles lem lebih tebal dan bagian mana lebih keras diketok dengan palu.

Setiap pihak musti menerima dengan penuh kelapangan hati, segala ketidakenakan serta ketidaksempurnaan yang dimiliki pasangannya.

Setiap pihak musti bersedia dan menyediakan diri, saling melengkapi satu sama lain dan menutupi kekurangan belahan hati.

Kalau sikap demikian sudah dikedepankan, saya yakin kalimat 'Dunia Milik Berdua' bukan sekedar pemanis belaka tetapi memang sudah teruji

'Dunia Milik Berdua' dalam Pernikahan

Mengalahkan ego bukan hal yang mudah, tetapi hal ini (mengalahkan ego) menjadi kelaziman ditempuh pada sebuah pernikahan.

Mengelola ego suami dan istri dalam pernikahan, terjadi dan berlangsung sepanjang kehidupan pernikahan dijalani.

Kedewasaan akan teridentifikasikan, dari seberapa kuat dan seberapa mampu diri ini mengontrol dan mengelola ego. Semakin sering suami dan atau istri mengalah, demi kebahagiaan dan keutuhan bersama, maka semakin ego itu bisa ditaklukkan.

sumber cahayanabawi.com
sumber cahayanabawi.com
Seorang suami yang sepenuh kesadaran, bangun dini hari, bergegas mandi saat udara dingin kemudian berangkat kerja saat matahari belum tampak.

Kemudian hasil kerja keras dan segala diupayakan, dibawa pulang menjadi persembahan terbaik untuk istri dan anak-anak di rumah.

Seorang istri rela mengabdikan diri, bangkit dari tempat tidur sebelum suami bangun, berjibaku di dapur mempersiapkan segala kebutuhan pagi hari.

Istri bersedia (tentu dengan kesepakatan bersama, misalnya) mengesampingkan karir di luar rumah, dilakukan penuh suka cita demi kebaikan bersama.

Maka hanya dengan pernikahanlah, memungkinkan semua proses saling mengalah dan menyediakan diri berkorban bisa terjadi. Maka hanya dengan pernikahanlah, memungkinkan terbukanya pintu-pintu pembelajaran untuk saling menghargai dan saling terikat bisa terjadi.

"Ikatan suci Pernikahan" sesungguhnya bisa menjadi kata sakti, sehingga suami dan atau istri tidak bisa berlaku aniaya dan seenaknya. Pernikahan, bisa menjadi sarana bagi suami dan istri, untuk terus belajar (seumur hidup) dan saling mendewasakan diri.

Maka jangan heran, kalau jiwa yang semula kerdil, akan bertumbuh menjadi jiwa pembelajar yang penuh toleransi. Pernikahan bisa menjadi ajang mengajarkan banyak hal tentang kesabaran, melembutkan hati yang semula keras dan angkuh (karena ego dikelola).

Kalau dengan menikah, ternyata belum merubah sifat kekanakan, sebaiknya introspkesi diri dan segera berbenah. Menikahlah dan siaplah berproses menjadi dewasa, karena menikah bisa menjadi cara untuk menguji seberapa kuat kalimat 'Dunia Milik Berdua'

-- salam -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun