Orangtua mana tidak marah, mengetahui anak kesayangan mengalami perudungan atau penindasan atau bullying.
Kalau mau menuruti hawa nafsu, rasanya orangtua pengin turun tangan langsung, membalas rasa kesal dan pasang badan menghadapi si pembully.
"Biarin, biar saja KAPOK !!" batin orangtua
Kemarahan ini memang sangat wajar, justru aneh kalau orangtua tidak marah mengetahui anaknya ditindas.
Tetapi sebelum meluapkan amarah, ada baiknya dipikir panjang akibatnya, apakah tindakan orangtua melabrak pembully sebagai tindakan yang tepat.Â
Yakin, pembully bakalan kapok kalau kita orangtua berhadapan langsung, entah sekedar ngomel atau benar-benar marah atau menasehati pada pembully.
Kalau memang sekedar menasehati pembully (dengan catatan tanpa pakai marah), mungkin masih mending dan aman sih. Tapi kalau sudah marah-marah, atau (amit-amit jangan sampai) pakai menyakiti fisik, pakai ancaman ini dan itu (namanya juga emosi) pasti sudah keterlaluan.
Padahal dengan alasan apapun, Â (menurut saya) tetaplah tidak sepadan, Â orangtua (notabene jauh lebih dewasa) berhadapan dengan anak-anak.
Si pembuly yang juga seusia anak kita, harusnya kita anggap sebagai anak sendiri, seharusnya justru kita timbul rasa kasihan.
"Anak ini, mungkin butuh perhatian lebih dari orangtuanya" gumam batin ini, ketika bertemu pembuly anak saya dan rasa kesal sontak lenyap.
Bisa jadi si pembully diam saja saat kita marahi, tapi setelah penasehat berlalu pergi, tidak ada yang bisa menjamin, mungkin kemarahan kita mejadi bahan perudungan baru.
'Elu cemen amat, dikit dikit ngadu sama orangtua!!' kira-kira begitu, kalimat diucapkan pembully kepada anak kita.
Atau kalau (misalnya nih) si pembully balik mengadu ke orangtuanya, kemudian orangtuanya ganti tidak terima dan melabrak. Masalah jadi tambah panjang dan runyam kan, tadinya hanya urusan anak-anak sekarang sudah melebar menjadi urusan orangtua.
Mengatasi Anak Korban Perudungan
Tugas menjadi orangtua bukan tugas ringan, selain penuh tantangan kita orangtua dituntut terus belajar tanpa kenal henti. Peran orangtua berpengaruh cukup besar, mulai anak pada masa tumbuh kembang, menapaki fase awal baligh hingga anak beranjak dewasa.
Dulu waktu masih ngontrak, saya punya tetangga (kenal tapi tidak akrab) sangat memanjakan anak (anaknya sekira 4 atau 5 tahun dibawah saya)
Waktu itu si anak sudah dewasa dan menikah ( kan usianya tidak jauh dengan saya), tetapi masih sangat tergantung pada orangtua -- dan ayah ibunya menanggapi---
Pernah pada satu kesempatan saya mendapati (kebetulan ada keperluan bareng), orangtua membayari belanja kebutuhan rumah tangga anaknya---aneh ya.
Sambil antre saya sampai kaget, di depan kasir melihat struk belanjaan dapers, minyak telon dan susu balita dibayari ayahnya ( si ayah dengan enteng mengeluarkan uang dari dompet).
Parahnya hal itu tidak sekali dua terjadi, pada saat anak terkena masalah, ayah dan ibunya (lagi - lagi) Â pasang badan membela. Mungkin orangtuanya sedang banyak uang, tapi kan harusnya sudah bukan waktunya berlaku sedemikian protektif pada anak yang sudah berkeluarga.
Saya menangkap kesan kuat, akibat pembelaan yang sering didapatkan, membuat anak ini manja dibuai kenyamanan dan tidak lekas mandiri.
Kini setelah dua orangtua sudah meninggal, rumah tangga anak manja berakhir dengan perceraian saya tidak tahu sekarang di mana anak ini tinggal
Salah mendidik anak, ternyata memiliki dampak dan pengaruh besar pada hari depannya, ketika tiba anak-anak harus lepas pergi. Pembelaan demi pembelaan (atas nama sayang) tidak ada guna, kadang malah menjerumuskan anak pada kerapuhan mental dan psikis.
Anak-anak yang tidak kunjung mandiri, (saya yakin)pasti ada peran orangtua di dalamnya membuat kondisi berlarut-larut. Mengekspresikan rasa sayang, tidak identik dengan melindungi setiap waktu, memberi uang setiap kali anak membutuhkan.
Ada kalanya kita harus tegas pada anak, pada keadaan tertantu berlaku tega anak menghadapi onak duri perjalanan hidupnya sendiri (demi kebaikannya) .
Pun dalam hal pembullyan, kondisi ini sangat bisa dijadikan sarana menguatkan mental anak terhadap kenyataan hidup. Bahwa pembullyan, bisa kita jadikan cara melatih anak, menyelesaikan masalahnya sendiri, sementara kita cukup menjadi saksi proses itu.
Orangtua tidak perlu repot-repot, turun tangan berurusan dengan pembully. Cukup memberi kepercayaan pada anak, bahwa dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Â
Orangtua dibutuhkan sebagai supporting, memberi masukan dan nasehat, bagaimana anak mengambil sikap dan keputusan saat menghadapi pembuly.
Memotivasi anak bisa menjadi cara penguatan, menyadarkan bahwa mereka tangguh laksana burung elang yang memendam kekuatan.Â
Seekor elang musti menyadari, bahwa dirinya punya cengkraman kuat, paruh yang kokoh dan kepak sayap yang perkasa.
Bangkitkan kesadaran elang pada anak, bahwa mereka sanggup terbang menembus langit, melihat dunia dengan lebih luas dan indahnya.
Sejatinya dampak perudungan, tidak selalu bicara dari sudut dampak negatif, Â seperti sifat rendah diri, minder dan takut melangkah.Â
Tetapi justru dari perudungan, bisa menjadi tonggak membangun mental tangguh dan mendidik anak menyelesaikan masalahnya sendiri. Â
- Smoga bermanfaat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H