Bisa jadi si pembully diam saja saat kita marahi, tapi setelah penasehat berlalu pergi, tidak ada yang bisa menjamin, mungkin kemarahan kita mejadi bahan perudungan baru.
'Elu cemen amat, dikit dikit ngadu sama orangtua!!' kira-kira begitu, kalimat diucapkan pembully kepada anak kita.
Atau kalau (misalnya nih) si pembully balik mengadu ke orangtuanya, kemudian orangtuanya ganti tidak terima dan melabrak. Masalah jadi tambah panjang dan runyam kan, tadinya hanya urusan anak-anak sekarang sudah melebar menjadi urusan orangtua.
Mengatasi Anak Korban Perudungan
Tugas menjadi orangtua bukan tugas ringan, selain penuh tantangan kita orangtua dituntut terus belajar tanpa kenal henti. Peran orangtua berpengaruh cukup besar, mulai anak pada masa tumbuh kembang, menapaki fase awal baligh hingga anak beranjak dewasa.
Dulu waktu masih ngontrak, saya punya tetangga (kenal tapi tidak akrab) sangat memanjakan anak (anaknya sekira 4 atau 5 tahun dibawah saya)
Waktu itu si anak sudah dewasa dan menikah ( kan usianya tidak jauh dengan saya), tetapi masih sangat tergantung pada orangtua -- dan ayah ibunya menanggapi---
Pernah pada satu kesempatan saya mendapati (kebetulan ada keperluan bareng), orangtua membayari belanja kebutuhan rumah tangga anaknya---aneh ya.
Sambil antre saya sampai kaget, di depan kasir melihat struk belanjaan dapers, minyak telon dan susu balita dibayari ayahnya ( si ayah dengan enteng mengeluarkan uang dari dompet).
Parahnya hal itu tidak sekali dua terjadi, pada saat anak terkena masalah, ayah dan ibunya (lagi - lagi) Â pasang badan membela. Mungkin orangtuanya sedang banyak uang, tapi kan harusnya sudah bukan waktunya berlaku sedemikian protektif pada anak yang sudah berkeluarga.
Saya menangkap kesan kuat, akibat pembelaan yang sering didapatkan, membuat anak ini manja dibuai kenyamanan dan tidak lekas mandiri.