Saya ingat, pernah membaca satu artikel lama, ditulis oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun. Dulu menjelang tahun 2000-an (sebelum reformasi), Cak Nun punya rubrik khusus di koran lokal yang terbit di Surabaya.
Satu artikel bertema idealisme pepohonan, cukup menarik dan intinya masih saya ingat sampai sekarang (meski tidak ingat tayang di koran terbitan tanggal berapa).
(garis besarnya lebih kurang begini ) Manusia jangan malu belajar pada alam semesta, salah satunya tentang kepasrahan total yang dimiliki pepohonan.
Pohon meski akarnya menghunjam bumi, dahan dan ranting mendongak ke langit, tetapi daunnya merunduk pada semesta -- penanda rendah hati. Pepohonan tidak menghindari angin yang menerpa, tidak mengutuk hujan badai yang menerjang membasahi dirinya.
Pohon sepenuhnya sadar, angin dan hujan diperlukan, sebagai perantara sang Pencipta membentuk dirinya kokoh dan tidak mudah tumbang. Pepohonan pasrah kepada sistem pengelolaan alam, setia pada fungsinya tidak merasa dirinya lebih dibanding pohon lain.
Pohon palem tidak merasa lebih mulia dibanding jenis perdu, pohon jati terkenal mahal tidak meremehkan rerumputan yang muncul di sekitarnya.
Setiap pohon punya hak bertumbuh, masing-masing berperan sesuai tugas dan porsinya masing-masing.
Idealisme pepohonan, Â adalah mempersembahkan dirinya kepada manusia, dan berarti mempersembahkan dirinya untuk kehidupan.
Pohon jati tidak menyesal, ketika ditebang dan dijadikan perabot oleh manusia, karena seperti itu caranya mengabdikan dirinya pada kehidupan.
Singkong dan ubi tidak merana, karena tercerabut dari tanah kemudian diolah dan selanjutnya dimakan oleh manusia. Bunga-bunga hiasan tidak serta-merta protes, ketika dipetik dan diperjualbelikan untuk persembahan acara pernikahan bahkan kematian.
Masing-masing pohon memiliki fungsi penciptaan, mereka merelakan diri menjelma menjadi apapun dengan begitu tugas dan pengabdian mereka terpenuhi.