Siapa sangsi dahsyatnya cinta, banyak kisah bertebaran di muka bumi sebagai bahan ajar, tentang kekuatan cinta kalau sudah bicara. Hanya cinta jawaban atas setiap alasan, sampai manusia rela dan merelakan diri, berjibaku dengan keriuhan dan menaklukkan tantangan hidup.
Matahari terbit di pagi hari, kelopak bunga bermekaran, dahan ranting dan tunas pepohonan bertumbuh, air mengalir gemericiknya menentramkan. Burung terbang ketika fajar datang dengan perut kosong, kembali ke sarang saat senja menjelang dengan lambung sudah terisi.
Siapa yang mengadakan pagelaran teater kehidupan yang luar biasa, lengkap dengan orkestra dan alur cerita tidak terduga endingnya. Semua yang kita dengar, kita lihat, kita raba, kita tangkap dan kita rasakan, adalah perumpamaan yang dibaca oleh kaum berpikir,
Semua yang terjadi di kehidupan ini, adalah ejawantah cinta sang Khaliq kepada hamba-Nya, membuat semesta bekerja sebagaimana mestinya. Manusia makhluk terkasih (penciptaannya melebihi malaikat apalagi syetan), dipercaya sebagai pengelola (khalifah) bumi karya ciptaNya.
Setelah subuh beranjak, di pinggir jalan saya kerap melihat seorang bapak, berpakain rapi layaknya pekerja kantoran. Pada saat berjalan mendekat, sekira satu dua langkah berjarak, saya mencium aroma segar dari arah si bapak.
Bisa jadi efek dari pewangi deterjen pencuci pakaian, atau parfum dengan aroma khusus hingga sampai indera penciuman. Bapak berpakaian rapi, rupanya setia menunggu (saya pernah melihat) mobil jemputan, siap mengantar berangkat ke kantor tempat bekerja.
Sementara langit masih gelap, jalanan relatif lengang, bahkan gerobak tukang sayur belum berangkat menjajakan dagangan. Baik ketka langit cerah atau disapu gerimis tipis bahkan saat turun hujan deras, si bapak  bergeming dengan rutinitas setiap pagi (menunggu jemputan di pinggir jalan).
Saya salut, dengan kesetiaan pada kegiatan saban hari dijalani. Pasti butuh effort tidak kecil, butuh pengorbanan yang musti diberikan.Â
Pada kesempatan lain di bawah langit yang sama, di pelosok kampung di sudut Jawa Timur, lelaki paruh baya mengusung meja dan kursi kayu. Mereka memanggul beban (meja kursi) berat di pudak, menyusuri sejengkal demi sejengkal jalanan untuk menjajakan dagangan.,
Para perempuan dengan pakaian sederhana, setiap pagi berkelompok ke sawah, pulang jelang siang menggendong rumput untuk makanan ternak. Semua yang mereka lakukan, tidak alasan lain menyertai kecuali cinta. Ya, cinta kepada buah hati, yang membutuhkan sandang, pangan, pendidikan.
Berharap pada anak terkasih, kelak tidak mengikuti jejak orang tua, menjadi penjual meja keliling atau pencari makanan ternak.
Bayangkan, apabila para ayah dan ibu (pada contoh di atas) hanya separuh hati keluar dari rumah untuk menjemput rejeki. Mungkin saja si ayah pulang lebih awal, pundaknya tak tahan berlama memanggul beban, dilepas dengan harga tak balik modal.
Sementara si ibu balik kerumah lebih cepat, padahal rumput pakan ternak belum memenuhi keranjang digendongan. Sangat disayangkan waktu telah mereka 'investasikan' berlalu tanpa hasil maksimal dan memadai karena putus harapan.
Melakukan semua upaya dengan cinta, adalah menyelami rahasia kehidupan intu sendiri. mendekatkan diri pada hakikat penciptaan manusia. Bahwa manusia yang mengenggam cinta, akan bersua alasan keberadaannya di muka dunia. - salam-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI