Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Tinggal di Rumah Mertua

6 Januari 2019   05:05 Diperbarui: 6 Januari 2019   05:39 1902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kakek-nekek bersama cucu-cucu - koleksi pribadi

Begitu acara resepsi pernikahan selesai dilangsungkan, pasangan pengantin baru siap menghadapi realita kehidupan sesungguhnya. 

Sebulan dua bulan pertama, menjadi masa bulan madu yang penuh keindahan. Semua tampak serba menyenangkan, setiap kesalahan sangat bisa ditoleransi. Lepas masa bulan madu, seiring berjalannya waktu satu persatu masalah rumah tangga bermunculan untuk dihadapi berdua.

Ketika masih sendiri, urusan makan tinggal pergi ke warteg membeli seporsi makanan sudah beres. Setelah menikah akan berbeda, ada dua perut dan dua selera yang harus diakomodir. 

Saat bujangan tidur cukup di sepetak kamar kost, sehari dua hari tidak pulang kost, tidak ada yang mempermasalahkan. 

Setelah menikah otomatis berubah, mulai berpikir di mana akan tinggal, tidak bisa pulang sesuka hati mengingat ada pasangan menunggu.

Masalah rumah tinggal, adalah masalah khas dihadapi pasangan baru, Bagi anak tunggal (baik dari pihak suami atau pihak istri), posisinya sangat diuntungkan. Biasanya orang tua (pemilik anak tunggal), berusaha sekuat tenaga 'memaksa' agar sang anak dengan pasangan tidak beranjak dari rumah.

Beda dengan rumah tangga baru, baik suami maupun pihak istri mempunyai banyak saudara (hal ini saya alami hehehe) Lebih banyak pertimbangan dipikirkan, apakah akan tinggal bersama orang tua/ mertua atau memilih tinggal di rumah kontrakkan (karena masih menabung).

Kalau tinggal di rumah kontrakkan, musti berhitung uang sewa kamar, bayar listrik, bayar air, iuran ini dan itu (termasuk biaya kebutuhan sehari-hari, pulsa dan keperluan lain)

Kakek-nekek bersama cucu-cucu - koleksi pribadi
Kakek-nekek bersama cucu-cucu - koleksi pribadi
Kalau belum punya uang cukup, satu-satunya jalan adalah tinggal di rumah mertua, itupun pasti ada resiko ketidakenakkan diterima (apalagi yang masih ada saudara lain serumah)

"tinggal di sini dulu saja, sambil nabung buat beli rumah," orang tua menawarkan solusi

Dulu saya punya teman kantor, saat itu masih tinggal di rumah mertua. Teman ini sampai kantor paling awal, pulang kantor paling lambat. Kalau hari sabtu dan minggu datang, kerap mencari-cari kegiatan di luar rumah -- rupanya teman ini sungkan kalau sering tinggal di rumah.

Seenak apapun tinggal di rumah  mertua, saya yakin tetap ada dilema. Hasil dari beberapa obrolan (tepatnya curcol) dengan sahabat, teman, kenalan, kerabat, menantu tetangga saat masih kost dulu, beberapa dilema saya coba simpulkan.

(sekali lagi, dilema terjadi biasanya pada pasangan yang memiliki banyak saudara)

Potensi Konflik Anak dengan Orang Tua

Seorang anak yang mengajak pasangan (atau pasangannya justru yang kepengin) tinggal di rumah orang tua, akan mempunyai tugas tambahan. Yaitu menjadi penghubung komunikasi, antara pasangan dengan orang tua, karena dua pihak pada awal tinggal (biasanya) segan untuk bicara secara langsung -- karena menjaga perasaan.

hellosehat.com
hellosehat.com
Si anak dituntut pintar mengelola kalimat, agar keinginan pasangan/orang tua bisa tersampaikan dengan baik tanpa menyinggung perasaan. Bagaimanapun, dua manusia pasti memiliki pemikiran berbeda, dijamin memiliki keinginan, maksud dan tujuan yang tidak sama.

Sangat mungkin terjadi, ada orang tua yang tidak cocok dengan kebiasaan menantunya, otomatis berimbas pada hubungan dengan anak sendiri. Anak dan orang tua berpotensi terlibat perang dingin, si anak kebingungan antara membela pasangan atau membela orang tua.

Apalagi kalau sebelum menikah, anak tidak terlalu perhatian kepada orang tua (dengan alasan sibuk bekerja dan sebagainya), keadaan semakin menuntut pintar mengelola emosi.

Konflik Menantu dengan Mertua.

Masalah kedua ini, erat kaitannya dengan masalah pertama atau point di atas. Sangat jamak terjadi, perbedaan pandangan antara menantu (biasanya menantu perempuan) dan mertua (tepatnya ibu mertua).

Apabila anak menantu tidak setuju pendapat mertua, tidak serta merta membantah, karena posisinya serba salah untuk membela diri, mengingat posisinya di rumah tersebut tidak kuat.

sumber gambar klikdokter.com
sumber gambar klikdokter.com
Satu-satunya pelarian sang menantu, adalah menumpahkan ganjalan dan uneg-uneg kepada pasangan (notabene anak kandung dari mertua). Menurut saya, konflik menantu dengan mertua relatif pelik (dibanding konflik anak dengan orang tua), mengingat posisi sang mantu awalnya adalah orang lain.

Kalaupun menantu terpaksa harus bersabar (karena satu dan lain sebab), maka mantu dituntut lebih berbesar hati dan menerima keadaan. Sembari berusaha terus mencari jalan terbaik, agar hubungan antara mertua dan menantu semakin membaik.

Konflik dengan Saudara Ipar

Pasangan yang tinggal di rumah orang tua, sementara di rumah yang sama masih ada kakak atau adik satu atap, tentu ada tugas tambahan lagi. Saudara pasangan yang belum menikah (dan belum mandiri), biasanya lebih banyak tergantung terhadap orang tua dalam beberapa hal.

sumber ciricara.com
sumber ciricara.com
Perhatian orang tua, biasanya akan lebih banyak tersita dan tercurahkan untuk anaknya yang belum mandiri. Tidak mengherankan, apabila orang tua lebih banyak membela, pada anak yang belum berkeluarga.

Anak mantu, bisa saja tidak cocok dengan saudara ipar. Masalahnya mirip dengan point kedua, sebagai saudara ipar dituntut lebih banyak legowo.

Konflik Anak dengan Sepupunya atau Saudara Ipar

Masalah tinggal di rumah mertua bertambah rumit, apabila ada lebih dari satu keluarga (kakak beradik) yang tinggal satu atap. Potensi konflik bisa terjadi, ketika masing masing keluarga sudah mempunyai anak, dan namanya anak kecil pasti ada saja pertengkaran.

Sangat mungkin, anak kita berantem rebutan mainan dengan sepupunya (anak dari kakak/adik). Atau bisa saja anak kita, tidak sengaja merusak barang milik om/tantenya.

illustrasi- dokpri
illustrasi- dokpri
"sehabis isya anakku masuk kamar sambil nangis, karena eyang kakung membelikan mainan hanya buat sepupunya" curhat seorang teman dengan muka sayu.

Seorang kakek atau nenek, bisa saja (misalnya) lebih sayang atau lebih perhatian pada cucu tertentu dibanding cucu lainnya. Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, karena banyak faktor melatarbelakangi, sehingga ada alasan si kakek/nenek sayang pada cucu yang diingini.

Kita sebagai orang tua dituntut bijak menyikapi keadaan ini, bersabar memberi pengertian kepada anak sendiri.

(beberapa point diatas hanya kesimpulan dari obrolan saya, kalau ada yang terlewat silakan ditambahi sendiri)

-0O0-

Sungguh, saya tidak bermaksud mengclaim, bahwa tinggal di rumah sendiri lebih enak dari pada tinggal di rumah mertua. Setiap pilihan pasti ada kelebihan dan kekurangannya, bahkan sangat mungkin ada mertua yang perhatian kepada menantu.

Bagi pasangan yang tinggal di rumah terpisah (baik rumah sendiri atau kontrak), juga memiliki dinamika sendiri-sendiri. Karena setiap keluarga punya pertimbangan sendiri, untuk memutuskan tinggal terpisah atau memilih tinggal satu atap dengan orang tua. Setiap pilihan membawa konsekwensinya, menjadi kesempatan setiap pasangan untuk belajar mencari jalan keluar terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun