Akhirnya, pesawat kami mendarat di Bandara Silangit Siborongborong Tapanuli Utara. Setelah satu jam dan empat puluh lima menit, membelah langit dari Bandara Soekarno - Hatta Jakarta.Â
Menjelang pendaratan, saya sempat dibuat takjub dengan pemandangan sekitar. Pasalnya, lapangan tempat landasan pesawat, berpagar bebukitan hijau alami. Dari balik jendela, saya bisa melihat rumah penduduk tak jauh dari tempat kami hendak menjejak tanah.
Begitu keluar dari dalam perut burung besi, saya menyapu pandangan ke sekitar, tak mendapati pesawat selain yang kami tumpangi. Sehingga kami bebas mengambil gambar di sekitar pesawat, sementara petugas terkesan memberi kelonggaran.
Bandara Silangit memiliki landasan pacu 2400 meter, tampak sedang melakukan perbaikan fasilitas di sana-sini. Terlihat terminal kedatangan masih berupa tenda putih, dengan lantai yang dilapisi karpet warna abu-abu.
Tempat pengambilan bagasi masih seadanya, penumpang bisa melihat tas mereka diangkut dari pesawat, kemudian satu persatu ditaruh dan berjalan di atas conveyor.
Porter berjajar merapat di depan kantor pengelola bandara, tidak tampak digunakan pengunjung, mengingat lantai bandara kombinasi tanah, kayu, semen dan aspal yang belum rata.
Terlepas dari fasilitas yang masih minim, sesungguhnya saya justru menikmati perjalanan dan suasana Bandara. Bahkan saya cukup exited merasakan situasi antimainstream, mengingat (biasanya) kerap mendapati bandara dengan kondisi bagus.
Satu hal lagi, ternyata Bandara Silangit sudah berstatus Bandara Internasional. Dipersiapkan untuk mendukung, peningkatan wisatawan ke Danau Toba dan daerah Tapanuli lainnya.
Udara dingin daerah Siborongborong menembus pori-pori, padahal cahaya matahari cerah tidak terhalang mendung. Saya merasakan paru-paru ini 'nyeees', saat menghirup oksigen bebas polusi dengan perlahan dan mendalam.