Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikah adalah Kesempatan untuk Mendewasa Bersama

11 September 2018   21:16 Diperbarui: 11 September 2018   21:33 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prosesi Ijab Kabul - dokumentasi Pribadi

Berulang kali menghadiri, menyaksikan, mendengarkan prosesi ijab kabul, saya (kerap) tidak bisa membendung rasa haru. Apalagi, kalau yang duduk di meja ijab ada hubungan darah. Seperti akhir pekan di awal bulan September, benar-benar menjadi bulan yang ceria -- seperti lagu September Ceria itu lo---hehehe.

Berkumpul keluarga besar, menyaksikan keponakan di ambang hidup baru. Keponakan yang semasa balita, saya momong dan gendong saat bangun tengah malam. Seminggu sekali disambangi, sembari dibawakan jajanan kesukaan. Tiba-tiba, sudah tiba waktu membangun mahligai rumah tangga.

Entahlah kenapa, prosesi sakral ini selalu saja mengalirkan hawa lain di sanubari. Sekuat apapun saya tahan perasaan, tak urung bola mata ini mengembun juga.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya fulan binti fulan...." terdengar ikrar ijab kabul diucapkan

Sontak saya seperti ditarik mesin waktu, kembali pada sepuluh tahun lebih silam. Berbeskap putih, kain cokelat tua corak sidomukti menawan. Kala itu saya begitu menikmati, menjadi pusat perhatian. 

Tanpa rasa canggung dan atau malu, karena diselimuti perasaan bahagia begitu besarnya. Duduk di kursi berhadapan (kala itu masih) calon ayah mertua, saya terus berusaha menata dan mengontrol emosi.

Semua mendadak berubah, ketika detik dinanti semakin mendekati. Seperti berada di garis batas, pergantian suasana dan pergantian perasaan. Tangan saya dijabat erat, kemudian si (calon) ayah mertua mengucapkan kalimat penyerahan.

Prosesi ijab kabul, menjadi titik balik perubahan. Menanggalkan predikat bujangan, berganti status menjadi seorang suami. Ikrar suci bukan hal main-main, terdapat amanah kehidupan harus dipanggul. Komitmen hidup di dunia dibawa sampai akhirat, menjadi amanah harus ditunaikan spanjang hayat dikandung badan.

Bahwa menikah, adalah belajar saling mengisi, sejauh ini telah saya buktikan. Bahwa menikah, bakal melewati pasang surut penuh dinamika, itu menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Tapi, ada yang lebih, dari sekedar rasa sedih dan senang. Ada situasi yang lebih, dari sekedar pergantian sempit dan lapang.

Bahwa menikah, adalah menggenapkan ibadah. Kalau sebuah pernikahan diniatkan ibadah, maka menikah menjadi ajang meraup pahala. Bahwa menikah, adalah (salah satu) alasan untuk mendewasa. Apapun yang dihadapi di perjalanan pernikahan, akan menjanjikan kedewasaan bagi si pelakunya.

Siraman - dokumentasi pribadi
Siraman - dokumentasi pribadi
Menerima Pasangan dan Saling Belajar

Siapapun pasti siap,  menerima pasangan dalam kondisi sukses dan senang. Sukses dalam arti mapan,  (bisa dibilang)  dari sisi karir dan tentunya perkonomian. 

Pasangan mana tidak gembira, setelah menikah langsung punya runah sendiri untuk ditinggali. Pergi kemana-mana, sudah ada kendaraan di garasi dan supir siap mengantar.

Namun perlu disadari, bahwa kehidupan tidak selalu berjalan ideal. Banyak sekali keadaan, "mengharuskan" kita untuk menyesuaikan diri, antara harapan dengan kenyataan yang dihadapi. Pada kondisi tidak ideal inilah, kesempatan bagi pasangan (suami dan atau istri) belajar menerima keadaan belahan jiwa.

Ada suami dan istri bekerja, kebetulan penghasilan belum seberapa. Ada suami saja bekerja dan istri di rumah, harus pintar mengelola pendapatan yang ada. Ada istri punya jabatan dan gaji, ternyata lebih tinggi dari sang suami.Begitu seterusnya dan seterusnya, masalah datang menghampiri, problem pasca pernikahan selalu ada tak ada habisnya.

Namun, bukankah otot-otot yang kokoh, lahir setelah dipakai angkat berat dan rajin bergerak (baca bekerja). Bukankan pisau tajam baru didapati, setelah melalui proses diasah berulang dengan telaten.

Pun dengan mental manusia, butuh sarana untuk membentuknya menjadi lebih arif (baca dewasa). Bahwa masalah kehidupanlah, yang akan membentuk mental manusia, menjadi lebih dewasa menghadapi hidup.

Prosesi temu manten- dokumentasi pribadi
Prosesi temu manten- dokumentasi pribadi
Kekokohan pernikahan tercipta, saat istri dan atau suami sepenuh kesadaran berproses bersama. Pasangan suami istri yang kompak, siap menghadapi dan menyelesaikan masalah bersama-sama. Musim boleh berganti, tetapi hubungan suami istri musti seiring.

Saya membayangkan indahnya pernikahan, apabila setelah menikah, suami dan istri berlomba saling memuliakan. Sikap memuliakan itu berlaku sangat umum, tidak selalu identik dengan kepemilikan bendawi. Tidakselalu berupa pemberian barang berharga, dengan nilai fantastis.

Memuliakan bisa dipersembahkan, melalui ucapan terbaik, perhatian sepenuh hati, sikap dan perilaku yang membuat pasangan merasa nyaman. Mungkin prakteknya (memuliakan) tidak mudah, tapi justru di sinilah tantangannya.

Menikah adalah Kesempatan Mendewasa Bersama

Apabila sebuah pernikahan diniatkan ibadah, maka akan memantik tekad memperjuangkan hingga akhir hayat. Yang akan dinilai kehidupan, adalah seberapa keras upaya kita, bukan hasil yang dicapai di akhir perjuangan.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi sikap penerimaan pada pasangan, niscaya akan menyempurnakan kekurangan itu. Menikah menjadi batu ujian, untuk (terus) belajar menerima kekurangan pasangan. Menikah adalah kesesempatan untuk mendewasa, komitmen berproses bersama, demi masa depan yang lebih mulia.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya sangat terkesan dengan satu hadist, kemudian saya jadikan pegangan sampai detik ini (insyaallah sampai akhir hayat---amin).

Nabi Muhammad Shallalhu'alaihi Wassalam, adalah Nabi dan teladan, beliau bersabda "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap istriku" (HR. At-Thirmidzi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun