Saya sudah sangat hafal, dengan kebiasaan tubuh ini. Setelah sminggu diforsir kerja, biasanya langsung protes. Punggung mendadak terasa berat, seperti ada udara enggan keluar. Keadaan merembet ke pangkal leher, muncul rasa pusing, kemudian perut mual dan pengin muntah. Kalau sudah begini, bisa saya pastikan tubuh sedang masuk angin.
Untuk mengatasi masuk angin, kerokan menjadi salah satu kebiasaan saya. Masalahnya, kerokan tidak bisa dilakukan sendiri. Perlu tangan orang lain, untuk mengoleskan balsem ke punggung, menggesek pinggiran koin, sampai membentuk garis merah di kulit punggung.
Kerokan, bisa dilakukan saat kondisi sedang ideal. Tapi kalau malam terlanjur larut, istri tengah pulas dalam tidur dan mimpinya. Rasanya tidak tega, membangunkan dan merepotinya. Atau kalau sedang di tengah perjalanan, kerokan tidak bisa dilakukan seketika.
Untung saya punya Tolak Angin, obat herbal andalan saat datang masuk angin. Tidak perlu membangunkan istri, tidak perlu menahan pusing di jalan. Tinggal disobek bungkus bagian ujung, kemudian diminum dan tenggorokan terasa 'nyeees.' Badan berangsur pulih, butiran keringat muncul dari pori=pori.
Bekerja adalah Ibadah, Jangan Sia-siakan
Bagi yang sudah berkeluarga, laki-laki punya tanggung jawab mencari nafkah. Tugas kehidupan yang tidak ringan, namun mengantarkan laki-laki pada derajad kemuliaan. Bekerja adalah nafas kehidupan, sudah semestinya lelaki mensyukuri peran dan fungsi tersebut.
Sebagai kepala keluarga, tanpa alasan memberatkan (misal sakit parah) pantang hanya berpangku tangan. Jatuh harga diri sebagai lelaki, karena tidak mengambil peranan yang seharusnya diemban. Lelaki yang menyerahkan tugas pencarian nafkah, kepada istri sang tulang rusuk. Berarti sengaja merendahkan diri sendiri, menelantarkan kemampuan hebat dimiliki.
Secara kodrat, pria dimampukan bekerja lebih keras dari perempuan. Dianugerahi fisik kuat dan kekar, simbol sanggup melindungi anggota keluarga. Mungkin Kompasianers pernah membaca, puisi Sang Nabi - perihal kerja, karya Kahlil Gibran, berikut saya cuplik sebagian
Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan
Dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan
Tapi aku berkata kepadamu bahwa bila engkau bekerja
Engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi
Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma.
Dengan menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan.
Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam
Bekerja adalah fitrah kehidupan itu sendiri, setiap orang yang bekerja akan memetik hasil sendiri-sendiri. Bekerja yang diniatkan ibadah, membuat hati senang menjalani.
Mematuhi aturan ditetapkan, tidak sikut sana sikut sini demi keuntungan pribadi. Nafkah dibawa pulang untuk anak dan istri, persembahan terbaik sumber kebahagiaan.
Segala kesulitan menghadang di tengah, dengan tegar dihadapai tanpa rasa gentar. Meyakini segala jerih payah, kelak akan dipertanggungjawabkan di hari pembalasan.
Segiat-giatnya kita bekerja, tubuh musti tetap diperhatikan kondisinya. Jangan terlalu dipaksakan, menyelesaikan pekerjaan tidak ada habisnya. Segera beristirahat, adalah cara memenuhi hak atas badan. Ibarat mesin, kalau dipakai terus menerus, lama kelamaan panas dan berkurang tenaganya.
Bagi kalian workaholic, jangan abaikan tubuh yang mulai tidak nyaman. Kalau merasa kecapekan, segera hentikan pekerjaan dan tinggalkan. Â Kalau saya, biasanya langsung merebahkan diri. Membiarkan otot-otot rileks, melepaskan semua beban sampai tubuh seolah tak bertenaga.
Saya sangat menikmati kegiatan ini, merasakan darah yang tadinya 'mampet' berangsur mengalir. Lelah yang semula melekat di tubuh, sedikit demi sedikit seperti menguap. Kalau badan sudah nyaman seperti sedia kala, silakan melanjutkan pekerjaan tertunda. Kelelahan atau stres karena pekerjaan, adalah hal wajar yang bisa dicari solusinya.
Meresapi hakekat dari setiap pekerjaan, akan membawa pada satu titik yang bernama totalitas. Kita dituntun untuk bekerja sepenuh hati, pantang mengeluh dan pantang putus asa. Itulah makna dari kalimat, bekerja adalah ibadah.
***
Gerimis malam itu belum kunjung reda, saya berada di sepanjang raya Cikini - Jakarta Pusat. Langkah kaki ini tak surut terabas beton trotoar, bergegas mencapai stasiun di ujung jalan tak jauh dari Patung Proklamasi.
Jumat malam pekan lalu, air tumpah dari langit cukup deras. Saya baru selesai meeting, bersama beberapa teman blogger di satu tempat tak jauh dari TIM (Taman Ismail Marzuki).
Pertemuan dimulai jam tujuh, diawali topik ringan sambil ber-haha-hihi. Setengah jam pertama, pengundang menyampaikan maksud dan tujuan mengundang kami. Kemudian diskusi berlangsung seru, menyamakan persepsi agar tak salah paham.Â
Seperti sebuah grafik naik kemudian menurun, obrolan serius itupun  lama-lama melonggar. Kembali membahas hal-hal receh, tentang kegiatan keseharian terkait ngeblog.Â
Satu jam kemudian, hujan menipis meski belum sepenuhnya  habis. Kesempatan tidak disia-siakan, saya pamit menerobos gerimis, menempuh satu kilometer dengan berjalan kaki.
Saking buru-burunya, beberapa kubangan air gagal saya hindari. Sampai stasiun Cikini, baju  lepek oleh keringat campur air hujan. Badan merasakan kedinginan, "masuk  angin nih," batin saya.
Selain alasan kecapekan, badan saya rentan terserang masuk angin, apabila kehujanan, terkena angin dari kipas angin atau AC secara langsung. Tapi saya tidak kawatir, Tolak Angin selalu tersimpan di dalam tas, siap mengusir masuk angin kapanpun di manapun.
Tolak Angin Lebih dari Sekedar atasi Masuk Angin
Belajar dari pengalaman, bagi saya Tolak Angin memiliki empat Perspektif :
1. Tolak Angin Sahabat Sejati : kemasan Tolak Angin yang kecil, praktis dibawa kemana-mana. Bisa diselipkan di saku baju, saku celana, atau di saku tas bagian depan. Tidak butuh tempat khusus, untuk membawa serta Tolak Angin. Apa namanya kalau bukan sahabat, Tolak Angin selalu setia menemani saya kemanapun pergi.
2 .Tolak Angin adalah Pahlawan : Saya tidak bisa bayangkan, kalau sehabis kehujanan di Cikini raya tidak langsung minum Tolak Angin. Bisa jadi badan bertambah sakit, akhirnya tidak bisa pergi ke BSD pada sabtu pagi. Apa namanya kalau bukan pahlawan, kalau telah menyelamatkan diri pada saat sedang tidak enak badan.
3. Tolak Angin Membantu Mensugesti diri ; Tolak Angin dengan bahan herbal plus madu, bisa diminum dengan cara berbeda. Begini maksud saya, cobalah minum Tolak Angin dengan mindful driking. Â Teguk perlahan rasakan di permukaan lidah, nikmati setiap rasa yang ada di dalam satu sachet Tolak Angin. Rasa herbalnya, rasa manis dari campuran madunya, nikmati satu persatu jangan sampai terlewatkan
Kemudian saat cairan Tolak Angin masuk tenggorokan, nikmati sensasinya dengan sungguh-sungguh. Elus dengan lembut leher bagian depan, sambil ucapkan kata kata sugesti yang baik. "Enak ya leher, kirimkan khasiat Tolak Angin ke seluruh tubuh. Agar aku sehat, bisa beraktivitas seperti biasa"
4.Tolak Angin Memacu Kreatifitas ;Â Kalau kecapekan dan sedang ada di rumah, saya tidak mau minum Tolak Angin dengan cara biasa-biasa saja. Saya sengaja mencampur Tolak Angin, dengan air teh yang masih agak panas (ada kepulan uap). Teh saya pilih, biasanya yang punya aroma melati (bebas sesuai kesukaan). Bayangkan, perpaduan aroma melati, menyatu dengan herbal dan madu dari Tolak Angin, lebih unik dan keren pastinya.
Sebelum meminum, saya dekatkan ujung hidup di  bibir gelas. Perpaduan aroma itu, mengepul dikirim asap teh campur Tolak Angin, sekaligus bisa dijadikan aromatherapy. Satu teguk dua teguk, rasakan dengan konsep mindful drinking -- seperti point nomor tiga.
Setiap orang, diberi jatah sehat atau sakit dalam hidupnya. Tapi bagaimana mengupayakan sehat, menjadi urusan setiap pribadi. Manusia sebatas berusaha yang terbaik, dengan menjaga gaya hidup sehat dan pola makan yang baik.Selama yang dikonsumsi, adalah makanan atau minuman yang tidak merugikan badan. Selama aktivitas dikerjakan, memicu tubuh untuk bergerak aktif. Saya yakin, tubuh sehat akan menjadi keniscayaan.
Bagi para ayah yang bertubuh sehat, niscaya semakin giat menjemput rejeki untuk anak dan istri. Sehingga bekerja tidak sekedar bekerja, tapi diniatkan ibadah sebagai bekal di kehidupan kekal. Pada ujung tulisan ini, saya ingin meminjam kalimat dari Buya Hamka."
Kalau Hidup Sekedar Hidup, Babi di Hutan Juga Hidup. Kalau Bekerja Sekedar Bekerja, Kera juga Bekerja." -- Salam sehat selalu Kompasianer, jangan lupa kalau masuk angin Minum Tolak Angin-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H