Saya pernah membaca analogi menarik, tentang sebatang besi yang harganya tidak begitu tinggi. Agar bisa memiliki nilai lebih, mula-mula besi haus menyediakan diri untuk dibakar di atas api bersuhu panas sangat tinggi.
Pembakaran membutuhkan periode beberapa waktu (tidak sebentar), sampai permukaan besi menjelma menjadi empuk. Pada saat besi sudah berubah lunak, dilanjutkan dengan penempaan berulang-ulang dengan palu raksasa. Berkat ketekunan sang penempa, besipun berubah wujud dari asalnya. Kini sebatang besi itu (yang sudah dibakar dan ditempa), mulai menampakkan diri menjadi sebilah keris.
Penampilan keris masih kusam tidak menarik, tentu tidak bakal dilirik oleh para kolektor. Maka keris jelek ini, kembali melalui proses sedemikian rupa untuk yang kedua kalinya. Agar keris yang belum bernilai, bisa tampil menjadi lebih menarik. Serangkaian proses panjang itulah, akhirnya membuat besi yang semua tak berharga, menjadi keris bernilai tinggi. Pun menjalani hidup jauh dari orang tua, tak ubahnya seperti proses besi dibakar dan ditempa menjadi keris.
Saya pernah merasakan, bagaimana pedihnya di awal jauh dari rumah. Mengelola perasaan kangen dan pengin pulang, menjadi tugas yang cukup menyita energi dan perasaan kala itu. Namun, beberapa bulan berselang, masalah itu bisa diatasi dengan sendirinya. Saat tiba waktunya pulang kampung, saya seperti mendapati sendiri, perbedaan cara pandang permasalahan. Beberapa teman sebaya yang  memilih tetap tinggal di rumah, tampak ragu-ragu saat mengambil sikap.
-00o00-
Bukan hanya anak sebagai perantau, pihak orang tua juga dituntut kuat (baca tega) melepaskan buah hati kesayangan. Kedua pihak (anak dan orang tua), musti saling merelakan diri untuk melepaskan dan dilepaskan.
Kalau dibuat sinetron, saya yakin scene hari pertama di Pondok, bisa dibilang cukup mengharu biru. Orang tua mendekap si anak, sambil membisikkan pesan dan pengharapan. Meski sedih tapi tidak ditampakkan, kami berusaha komit untuk tegar (satu sama lain)
"Saling mendoakan anak dan atau orang tua, menjadi obat manjur penawar kangen,"tambah ustad.
Perpisahan dengan anak di hari pertama mondok, (selain sedih) menyimpan harapan besar. Kami berjanji, saling mendoakan di ruang yang berbeda. Melalui perantara doa pengharapan pula, niscaya orang tua dan anak sanggup melewati hari panjang ke depan. Bahwa keputusan berpisah (sementara), dilakukan demi kebaikan di kemudian hari.
( lanjutan puisi Imam Syafii)