Puasa Ramadan tahun ini, terhitung tahun kedua saya memperhatikan asupan. Sikap ini saya lakukan dengan satu sebab, pernah pada satu malam tiba-tiba saya merasa kesakitan. Separuh badan nyeri dibuat bergerak, sampai-sampai saya tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Pikiran sudah menduga nama-nama penyakit, sampai saya ketakutan kalau benar kejadian.
Selang beberapa hari periksa dokter, mendapati hasil diagnosa yang mencengangkan. Beberapa nama penyakit mengerikan, disebutkan dokter setelah pemeriksaan. Kemudian saya mendapat banyak masukan, penyebab datangnya sakit dan bagaimana mengatasi.
"Musti merubah pola makan dan gaya hidup," nasehat ini terus terngiang.
Sejak keluar dari ruang serba putih, saya bertekad merubah gaya hidup tidak sehat. Ramadan tahun lalu menjadi titik balik perubahan, saya memilah dan memilih jenis asupan.Â
Setelah diet diimbangi olah raga, badan terasa jauh lebih enakan. Kaos dan celana lama, mulai bisa dipakai lagi. Perut buncit dan badan gempal, sudah tidak tampak lagi. Seiring berjalan waktu, saya mulai longgar dalam mengonsumsi bahan makanan. Â Mula-mula hanya secuil makan ini dan itu, lama-lama kebablasan. Lingkar perut mulai beradu dengan lingkar celana, tapi saya masih menoleransi diri.
"kayanya, Lu gemukan lagi ya,"
Pernyataan seorang kawan, sontak menyadarkan saya dari khilaf. Bahwa saya mulai abai, tak pikir panjang soal konsumsi makanan. Kembali ke kebiasaan lama, tak terlalu hirau dengan asupan.
"Aku musti berubah" bisik batin ini.
Bulan Ramadan tahun ini, menjadi moment titik balik yang kedua. Seperti memutar ingatan, saya mengatur menu berbuka dan sahur. Â Menghindari nasi, gorengan, olahan berbahan tepung serta asupan manis yang berasal dari gula (meskipun tidak seratus persen menghindar, setidaknya berkurang cukup drastis). Â
Nasi dan lauk pauk aneka gorengan, semakin nikmat dipadukan dengan sayur kuah bersantan. Seperti sayur nangka (khas masakan padang), kuah santannya begitu nyata. Atau sayur opor ayam, kuahnya kental berwarna putih santan agak kekuningan.