Dua tiga hari belakangan, timeline medsos saya penuh dengan postingan senada. Bertebaran foto keceriaan bersama keluarga, menghaturkan ucapan selamat hari lebaran. Satu kalimat yang sama disampaikan, adalah permohonan maaf dan sambut uluran tangan memaafkan. Indahnya saling memaafkan, apabila yang memaafkan dan dimaafkan benar tulus dari dalam hati.
Hari raya Idul Fitri, sejatinya adalah hari kemenangan seluruh umat muslim. Sementara kualitas kemenangan setiap orang, biarlah menjadi urusan masing-masing dengan Sang Khaliq. Tak elok mengurusi ibadah orang lain, sementara ibadah sendiri belum tentu lurus.
Coba perhatikan sepanjang bulan suci tengah berlangsung, Â bebarengan dengan tahun politik sambut pilpres 2019. Â Banyak unggahan (video, meme, tulisan) muncul di beranda medsos, menjadi cerminan si penyebar belum mampu meredam ego diri. Berseliweran ujaran kebencian, antara dua kubu berseberangan. Tak peduli siang atau malam Ramadan, tetap saja perang status terjadi.
Pada jelang mudik lebaran, rupanya pertentangan dua kubu selama puasa belum selesai -- bahkan cenderung memanas. Kemacetan yang mulai mengurai di sejumlah titik jalur mudik -- dibanding tahun sebelumnya-- , menjadi tema yang dijadikan bahan perdebatan. Jadi serba salah, lalu lintas lancar salah, apalagi macet pasti lebih salah. Eit's, bukan bermaksud menghakimi orang lain, saya memposisikan diri sebagai penonton.
Sebagai orang yang masih banyak dosa, saya tidak turut mengompori beranda medsos yang sudah panas. Saya  sendiri tidak bisa menjamin ibadah puasa saya, terlepas dari syak wasangka dan salah yang menggunung.
Memaafkan Tapi Tidak Melupakan
Pernah nggak mendengar kalimat, "Saya maafkan, tapi tidak bisa melupakan." Pernah ada yang memberi analogi -- menurut saya memang masuk akal--, tentang seorang yang berbuat salah dan seorang yang diminta untuk memaafkan.
*Begini analoginya --- Bahwa orang yang berbuat salah itu, seperti memukul paku di balok kayu sampai paku itu menancap di media yang diingini. Setelah sadar paku sudah menancap dalam, si pemukul berusaha mencabut kembali paku (yang menancap) dari balok.
Banyaknya alat untuk pencabut paku, dengan mudah membantu mengeluarkan paku dari balok tersebut. Namun, lepasnya paku dari kayu, tidak serta merta menghilangkan lubang bekas tancapan paku tersebut. Ya, ada lubang  menganga ditinggalkan bekas tancapan paku tersebut. Begitulah analogi seorang yang berbuat salah (penancap paku), dengan orang yang diharapkan memberi maaf (obyek kayu yang sudah lubang bekas tancapan paku).
Memaafkan memang tidak mudah, terutama bagi orang yang pernah tersakiti. Saya sendiri pernah berada pada situasi dijatuhkan, kemudian diminta untuk memaafkan dalam waktu seketika. Sungguh, butuh waktu tidak sebentar, untuk melupakan kesalahan orang tersebut terhadap saya. Sampai saya mendengar tausiyah mencerahkan, tentang derajad orang yang memaafkan.
Beda dengan orang yang memaafkan, -- secara hakikat-- berada pada kondisi yang proaktif. Orang yang hendak memaafkan, akan dituntut untuk mengalahkan ego diri. Saat sedang berkubang dengan sakit hati, Â punya tugas menerima permintaan maaf dari orang yang (pernah) menyakiti.
Orang yang memaafkan tapi tidak mau melupakan, -- menurut tausiyah yang saya dengar -- berarti belum menyertakan ikhlas dalam kata maaf tersebut. Ikhlas adalah satu tahap lebih tinggi, setelah manusia bisa menundukkan ego pribadi. Memberikan maaf dengan rasa ikhlas, berarti tidak mengungkit kesalahan masa lalu si peminta maaf.
Memang disakiti hati sangat tidak enak rasanya, tapi menyimpan dendam ternyata lebih tidak enak lagi. Â Bagi pendendam, ibarat membiarkan diri terperosok dalam keburukan. Karena seorang pendendam, seperti memelihara borok pada hatinya sendiri.
Sementara bagi penggenggam rasa ikhlas, akan mendapatkan derajad kemuliaan lebih tinggi dibanding pendendam. Orang yang ikhlas, adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang ikhlas, orang yang sangat bisa mengatasi egonya sendiri. Maka bagaimana Ramadan dan lebaran tahun ini, sampai di mana kata maaf yang telah kita ucapkan.
Masih adakah, orang-orang yang belum setulus hati kita maafkan. Saya juga masih belajar ikhlas, agar hidup menjadi lebih tenang dan jauh dari syak wasangka. Mari sertakan ikhlas, dalam setiap kata maaf yang terucap.
Mohon Maaf Lahir dan Batin- Agung Han.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H