Sebagai perantau yang beranak pinak di tanah rantau, saya merasakan bagaimana suasana lebaran di Ibukota. Kemeriahan hari kemenangan, hanya terasa di hari pertama setelah sholat Idul Fitri. Hari berkunjung, berkumpul dengan sanak saudara, dilakukan beberapa saat selepas sholat di masjid atau tanah lapang.
Kebetulan saya ikut berkumpul, dengan keluarga besar dari orang tua dari istri atau  mertua. Orang tua kami tinggal di perumahan pinggiran ibukota, warga menerapkan tradisi khas orang kota banget. Pengurus RT mencetuskan inisiatif praktis dan sangat simple, yaitu mengumpulkan warga di lokasi strategis Perumahan. Kami sekeluarga pergi ke taman, setelah melakukan sungkeman dengan orang tua dan kakak ipar.
Pada lebaran hari pertama, taman di perumahan disulap sedemikian cantiknya. Tenda berdiri megah di tengah taman, beralas karpet empuk yang digelar dibawahnya. Masing-masing keluarga di komplek datang, membawa tentengan yang sudah dikoordinasikan.
Ada yang membawa kue khas lebaran, dengan aneka toples cantik yang kerap dijumpai. Ada yang membawa panganan khas betawi, yang biasa dibuat pada saat lebaran saja. Pun ada yang membawa makanan berat, seperti lontong sayur, semur, opor ayam dan lain sebagainya.
Suasana berakrab ria dengan tertangga, terpusat di taman perumahan. Jadi, tidak ada rumah yang direpoti, tidak perlu cuci piring, gelas dan sendok untuk menjamu tamu. Peralatan yang digunakan, adalah peralatan sekali pakai langsung buang. Kecuali tempat panganan, Â seperti loyang, panci, mangkok saji dan beberapa alat lain yang dibawa pulang selesai acaraÂ
"Cuma gini" batin ini bergumam. Â Bagi saya yang berasal dari kampung, sempat shock kali pertama mendapati suasana lebaran di kota. Semua sangat jauh berbeda, dibandingkan dengan suasana di kampung halaman. Â Â
Pada lebaran hari kedua di pinggiran Ibukota, suasana lebaran menguap begitu saja. Orang sudah kembali kebiasaan normal, sudah berjalan jalan ke Mall, lokasi wisata sudah padat seperti hari biasa. Yang mengingatkan bahwa hari masih lebaran, adalah masih libur dan lalu lintas ibukota yang sangat lengang.Â
Beda dengan suasana di kampung halaman saya, kesyahduan lebaran merata di dua hari raya. Warga di pelosok desa di Jawa Timur, membagi dua hari di awal bulan syawal dengan dua kegiatan berbeda.
Usai sholat idul fitri di tanah lapang, dilanjutkan sungkeman dengan orang tua kandung. Moment sungkeman ini, biasanya menguras rasa haru yang sangat mendalam. Saya yang sudah seperempat abad merantau, tetap saja disergap keharuan saat sungkem di pangkuan perempuan sepuh ini. Seolah masuk dalam suasana magis, sesenggukan itu muncul begitu saja dengan tiba-tiba.
Masih pada lebaran hari pertama, selanjutnya megunjungi kerabat dari keluarga inti. Pergi ke rumah Pakde Bude dari garis alm. ayah, yang tinggal di desa bersebelahan. Ada satu Pakde yang sudah sangat sepuh, selalu menjadi jujugan kami para keponakan. Si Pakde yang meneruskan tinggal di rumah kakek (ayahnya ayah saya), satu satunya sesepuh alhamdulillah masih sehat. Sementara tiga saudara lainnya -- termasuk ayah saya--, sudah meninggal lebih dulu.
Sepanjang hari di lebaran pertama, kami habiskan sowan ke keluarga dekat di beda kampung. Selain kami berkunjung ke rumah orang dituakan, di rumah ibu juga menerima kunjungan balik. Anak dari pakde bude, bergantian datang untuk silaturahmi.
Pada kunjungan antar keluarga sedarah ini, tak bosan ibu menjelaskan silsilah keluarga. Bagaimana garis darah, Â hubungan dengan orang yang dikunjungi atau mengunjungi kami.Â
Lebaran hari pertama, berlangsung sampai malam hari. Saudara jauh berdatangan, mengahturkan sungkem pada ibu tanda penghormatan. Ibu saya yang anak mbarep, didatangi adik-adiknya yang sudah bercucu.
Pada hari lebaran kedua, dilanjutkan dengan beranjang sana dengan saudara dekat. Pakde bude dari garis ibu saya, kebetulan tinggal di desa yang sama dalam satu RT. Suka cita mewarnai ajang kunjung mengunjungi, berbagi kisah dengan saudara segaris keturunan.
Setelah keluarga terdekat disambangi, sepanjang perjalanan mampir di rumah tetangga. Bersua dengan teman SD, SMP yang masing-masing sudah beranak pinak. Ah, indahnya bersua dengan teman dari masa lalu. kami yang sudah terpisah jarak dan waktu, mengenang jejak yang pernah sama-sama ditorehkan.
Saya yakin, setiap daerah akan beda tradisi merayakan lebaran. Seperti suasana di prumahan ibu mertua, jauh bebeda dengan suasana di kampung halaman saya. Seperti kata pepatah, 'Lain ladang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya.'