Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Pengin sih Mudik, Tapi...

30 Mei 2018   09:02 Diperbarui: 30 Mei 2018   11:22 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bujangan yang sedang galau- dokpri

"Lebaran tahun ini mudik to Han"

"Kepastiannya minggu depan ya buk," jawab Hanafi

Mudik, satu kata yang diidam-idamkan seluruh umat manusia -- tanpa pandang usia, status sosial dan agama. Seperti kata peribahasa "Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbah juga", artinya sejauh-jauh merantau akhirnya kembali ke kampung halaman juga.

Mudik atau Pulang kampung, ibarat kembali ke akar kehidupan. Menengok jejak masa lampau, telah mengantar hingga kehidupan di masa sekarang. Perasaan rindu dihadirkan, untuk mengingatkan orang akan asal muasal.

Namun, ungkapan dan maksud peribahasa itu sedang tidak berlaku buat Hanafi. Bukan masalah tidak punya uang untuk beli tiket, Hanafi seorang marketing dengan kinerja diandalkan. Sebagai pekerja keras dan ulet, target penjualan tahunan dari perusahaan kerap dicapai.

Tugas ke luar kota kerap diemban, dengan fasilitas pesawat dan hotel berbintang serta uang saku dihitung harian. Pernah dalam satu minggu penuh dalam perjalanan, pagi  berangkat malam pulang dengan pesawat antar kota provinsi. Alhasil, bonus penjualan diraih cukup besar, tabungan dan deposito semakin membengkak.

Sebagai anak patuh dan sayang orang tua, Hanafi tak pelit mengirim rutin jatah bulanan untuk orang tua. Kalau sedang rejeki berlebih, mengirim tambahan berupa barang keperluan orang tua di kampung.

Namun ada rasa galau setiap datang Ramadan, empat minggu berpuasa, hari berjalan begitu cepatnya. Ketika tiga bulan sebelum lebaran, teman sekantor sudah hunting tiket kereta, Hanafi masih saja menyimpan bimbang. Apakah jadi pulang atau bertahan di kota perantauan, dua pilihan keputusan seperti terjadi tarik ulur.

"Piye Han, jadi mudik" pertanyaan yang sama dengan seminggu lalu terdengar, dari suara perempuan usia enampuluhan di seberang.

"Ibu, Hanafi belum bisa jawab"

Lalu apa alasan, membuat Hanafi enggan mudik? Ada beban perasaan ditanggung, jika bertemu sanak kerabat, tetangga dan teman-teman di masa lalu. Pada usia menginjak tigapuluh tahun lebih, lelaki berbadan gempal ini belum juga naik pelaminan.

Ayah Hanafi, orang paling sabar dan mengerti perasaan. Sikap lelaki usia nyaris tujuhpuluh ini, paling netral dan tak pernah memojokkan anaknya. Sementara ibunya, meskipun rasa sayangnya tak terbantahkan, selalu blak-blakkan mendesak agar Hanafi lekas menikah.

ilustrasi - dokumentasi pribadi
ilustrasi - dokumentasi pribadi
"Ayo to Han, yang kamu  pilih itu yang kayak apa, ingat umurmu"

Omelan sang ibu meski menyebalkan, sejauh ini masih pada batas bisa dimaklumi.  Ibu masih menempatkan diri dan situasi, kalimat kurang nyaman di telinga anaknya, diucapkan ketika suasana sedang sepi tidak ada orang lain. Selain dua nama dipercayai -- ayah dan ibu --, sebagian besar orang -- seolah- ingin menjatuhkan wibawa Hanafi.

Tak terkecuali satu kakak kandung, yang sudah berkeluarga dan beranak pinak. Entah apa alasan di balik sikap sang kakak, seperti memendam perasaan tidak suka pada adiknya. Pernah Hanafi merenungkan, perubahan sikap saudara tua yang  sering nyinyir padanya. 

Sejauh Hanafi bisa menebak, ada rasa iri karena (mungkin) karir dan penghasilan adiknya sedang menanjak. Si Kakak dengan satu anak duduk di bangku SMU, masih tinggal di rumah kontakan. Sementara dirinya, meski bujang tinggal di rumah baru yang sedang dicicil akan lunas dalam  lima tahun kedepan.

Alasan lain semakin kuatnya, pernah satu saat  Hanafi ada di rumah kampung---kebetulan si kakak juga ada. Pada saat sedang berkumpul, ibu menceritakan ulang perkataan Hanafi, yang sebulan lagi akan pergi marathon ke Medan, Batam, Bali dan Palangkaraya.

"Hanafi itu pergi kesana-sini naik pesawat, tapi pulang ga ada yang nunggu, terus kerja buat siapa"

Kalimat terlontar sambil tertawa dari mulut si kakak, menggoreskan rasa pedih menusuk gendang telinga dan mengunjam kalbu. Kalimat itu mengoyak rasa marah, menanam bibit benci yang tak bakal terlupakan.

"Hanafi lagi usaha, buat nyari calonnya" bela ibu

"Adiknya dibantu nyari kalau kamu ada" ayah menimpali

Pembelaan ayah dan ibu, sedikit melegakan tapi tak menghilangkan luka yang tertorehkan. Bertubi-tubi sindiran atau peperangan nyata dilancarkan, Hanafi menunduk dengan hati pedih, tapi tak mampu dan tak sanggup sekecap saja membalas.

"Budi temanmu SD, sekarang anaknya dua, terus kamu kapan?"

Di tengah acara kumpul keluarga besar, Hanafi tidak menanggapi ucapan menohok dari  kakak kandung. 

-00o00-

Ramadan bulan penuh berkah, saat amal ibadah digandakan, saat doa umat yang sungguh berkesah diijabah. Hanafi berkeyakinan, bulan suci adalah saat tepat mendekatkan diri pada Pemilik Kehidupan. Melangitkan segenap doa pengharapan, menguatkan niat dan kesungguhan.

Masuk hari pertama Ramadan, Hanafi berniat menjaga sholat lima waktu tepat waktu di masjid. Sholat yang fardhu ditambah sholat sunnah, selama Ramadan ditegakkan sholat duha, taraweh, tahajud. Satu hari satu juz menjadi target, agar dalam tigapuluh hari khatam Quran didapatkan.

Benar saja, tekad itu dijaga dengan sungguh-sungguh. Hanafi pulang kantor tepat waktu, agar bisa mengejar taraweh. Sholat subuh berjamaah, menyimak kuliah subuh juga tidak ditinggalkan. Doa demi doa tak putus dipanjatkan, demi menjemput secercah sinar harapan.

Sementara Ramadan sudah dipertengahan, tanda-tanda hendak pulang kampung masih belum jelas. Meski koper sudah disiapkan, baju baju sudah siap dikemas hatinya masih setengah bimbang.  Namun Hanafi punya jawaban, agar orang tuanya senang dan dirinya tak terlampau sedih.

"Piye Han, sido Mudik?"

"Hanafi tetap mudik, tapi seminggu setelah lebaran ya buk,"

illustrasi - dokumentasi pribadi
illustrasi - dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun