Ayah Hanafi, orang paling sabar dan mengerti perasaan. Sikap lelaki usia nyaris tujuhpuluh ini, paling netral dan tak pernah memojokkan anaknya. Sementara ibunya, meskipun rasa sayangnya tak terbantahkan, selalu blak-blakkan mendesak agar Hanafi lekas menikah.
Omelan sang ibu meski menyebalkan, sejauh ini masih pada batas bisa dimaklumi. Â Ibu masih menempatkan diri dan situasi, kalimat kurang nyaman di telinga anaknya, diucapkan ketika suasana sedang sepi tidak ada orang lain. Selain dua nama dipercayai -- ayah dan ibu --, sebagian besar orang -- seolah- ingin menjatuhkan wibawa Hanafi.
Tak terkecuali satu kakak kandung, yang sudah berkeluarga dan beranak pinak. Entah apa alasan di balik sikap sang kakak, seperti memendam perasaan tidak suka pada adiknya. Pernah Hanafi merenungkan, perubahan sikap saudara tua yang  sering nyinyir padanya.Â
Sejauh Hanafi bisa menebak, ada rasa iri karena (mungkin) karir dan penghasilan adiknya sedang menanjak. Si Kakak dengan satu anak duduk di bangku SMU, masih tinggal di rumah kontakan. Sementara dirinya, meski bujang tinggal di rumah baru yang sedang dicicil akan lunas dalam  lima tahun kedepan.
Alasan lain semakin kuatnya, pernah satu saat  Hanafi ada di rumah kampung---kebetulan si kakak juga ada. Pada saat sedang berkumpul, ibu menceritakan ulang perkataan Hanafi, yang sebulan lagi akan pergi marathon ke Medan, Batam, Bali dan Palangkaraya.
"Hanafi itu pergi kesana-sini naik pesawat, tapi pulang ga ada yang nunggu, terus kerja buat siapa"
Kalimat terlontar sambil tertawa dari mulut si kakak, menggoreskan rasa pedih menusuk gendang telinga dan mengunjam kalbu. Kalimat itu mengoyak rasa marah, menanam bibit benci yang tak bakal terlupakan.
"Hanafi lagi usaha, buat nyari calonnya" bela ibu
"Adiknya dibantu nyari kalau kamu ada" ayah menimpali
Pembelaan ayah dan ibu, sedikit melegakan tapi tak menghilangkan luka yang tertorehkan. Bertubi-tubi sindiran atau peperangan nyata dilancarkan, Hanafi menunduk dengan hati pedih, tapi tak mampu dan tak sanggup sekecap saja membalas.