Sebagai anak kampung, bioskop adalah sebuah hiburan sangat mewah bagi kami yang hidup di desa. Desa saya adalah desa kecamatan, jauh dari keramaian kota (kota kecil sekalipun). Untuk menuju kota kabupaten pun, butuh waktu tempuh sekitar 30 menit.
Kendaraan umum (biasanya colt), hanya beroperasi sampai jam lima sore. Jadi jangan harap pergi ke kota, saat hari sudah mulai gelap, kecuali punya kendaraan sendiri. Terlebih, di medio 80-an ketika itu, listrik belum masuk di desa saya.
Untuk transportasi ke kota, kami hanya punya satu-satunya motor --tua dan buntut-- milik ayah dan ibu kami. Itu pun diklaim sebagai milik kakak sulung --kala itu sudah kuliah. Secara tidak tertulis, kakak paling besar punya hak paling utama atas pemakaian kendaraan roda dua tersebut.
Kami, lima adik-adiknya, tidak protes sama sekali -- entah karena manut, atau tidak bisa naik motor. Apalagi saya sebagai bungsu, tidak bisa berbuat apa-apa.
***
"Le, ndang sehat yo, nanti ibu ajak nonton bisokop" bujuk ibu
Saya masih duduk di kelas tiga SD (ketauan deh umur saya--hehe) ketika ibu ajak saya nonto bioskop. Dan tubuh kecil ini sudah beberapa hari sedang 'protes.'
Konon ada film bagus, berjudul Perawan Desa diproduksi tahun 1980 --kami nonton tahun 1983-- dan meraih beberapa kategori Piala Citra , FFI 1980.
Sungguh, keinginan nonton bioskop tidak pernah terlintas di benak saya. Hiburan saya dan teman seusia, hanya film kartun yang diputar di TV hitam-putih 14 inci -- yang hanya ada di teras kantor kecamatan. Lebih dari itu kami girang bukan main.
Kalau ada layar tancap diputar dan disponsori bumbu masak, sabun deterjen, atau mie instan sedari siang, saya sudah tidak sabar ingin pergi ke lapangan bola di dekat pasar. Biar tidak ngantuk, selesai salat duhur saya tidur siang.
Mendengar ajakan ibu nonton bisokop, saya hanya bisa membatin, "Tumben amat, ibu sedang kenapa ya?" Harga karcis nonton bioskop, tentu bukan nominal yang kecil buat keluarga kami mengingat ayah saya guru dan ibu pedagang di pasar.