"Saya dulu, tidak pernah merasa gemuk. Orang bilang saya cantik, akhirnya saya merasa diri saya cantik."
Dua ujung bibir ini memanjang, mendengar pernyataan, menyaksikan sebuah vlog yang membahas masalah diet. Mungkin anda tidak asing --terutama generasi 80-an--, dengan nama Dewi Hughes.
Seorang presenter hiburan, identik dengan perawakan besar dengan tubuh yang subur. Di usia yang sudah tidak muda, Kini Hughes berhasil menurunkan berat badan, dengan angka cukup signifikan.
Saya tersenyum --dengan pernyataan di atas--, karena pernah berada pada posisi tersebut. Meski badan ini gemuk, saya (selalu) mencari alasan untuk pembenaran (tepatnya menoleransi diri sendiri). Terlebih sikap serupa, juga dilakukan orang-orang terdekat di sekitar.
Alih-alih menyadarkan, justru memberi dukungan melalui komentar-komentarnya.
"Gak papa gemuk, sudah punya anak dan istri ini."
"Kamu itu tinggi, jadi gak kelihatan kalau gemuk."
"Kalau kurus, kamu malah gak pantes."
"Kalau kurus, dikira gak diurus istri."
Begitu seterusnya dan seterusnya, kalimat demi kalimat (pembenaran) satu persatu masuk telinga, kemudian disimpan dalam benak. Lama-lama menjadi pemakluman, menumbuhkan perasaan nyaman alias merasa tidak ada yang salah dengan badan gemuk.
Memang sih, tidak ada yang salah dengan orang gemuk. Toh, yang merasakan akibatnya juga diri sendiri.
"Ya, perawakan saya sudah pas."
"Ya, saya pantas dengan badan seperti sekarang."
Kalimat-kalimat ini tertanam di bawah sadar, biasanya membuat diri sendiri terlena. Saya merasa, tidak perlu melakukan diet, pun ketika orang lain memberi masukan ini dan itu, otomatis tak kalah sengit melakukan pembelaan diri.Â
Si orang yang (tidak merasa) gemuk, berusaha meyakinkan orang lain, bahwa dirinya memiliki perawakan ideal. Bahwa dengan tinggi badan yang dimiliki, cukup pas dengan berat tubuh yang disandangnya.
Bagaimana mau menjalani diet, bagi orang yang tidak merasa gemuk. Diet kan, hanya dilakukan oleh orang yang (merasa) gemuk. Kalau sudah begitu keadaannya, ya susah.
-0o0-
![tribunnews.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/10/tribunnews-5a55e55ff133442868704052.jpg?t=o&v=770)
Setelah dibawa periksa ke dokter, diagnosa membuat saya tercengang. Angka di tensimeter menyatakan bahwa ada potensi hipertensi. Kalau tidak segera berubah, pelemakan hati sudah siap mengancam.
Di vlog yang sedang saya simak, Dewi Hughes pernah mengalami rasa sakit yang sangat. Situasi yang dialami pada akhirnya memantik semangat perempuan asal Bali ini untuk bergegas melakukan perubahan. Membenahi pola makan dan gaya hidup demi mendapatkan kesehatan.
Poin penting dari informasi dalam vlog yang saya saksikan -- kemudian mengamini--. Bahwa hal paling utama, sebelum memulai diet adalah memperbaiki mindset atau pola pikir
Sadarkan diri dan akui, bahwa "Ya, saya memang gemuk", "Ya, badan saya tidak sehat", "Ya, saya musti segera berubah."
Pernah saya mendengar rumus sederhana, seseorang bisa dikategorikan gemuk kalau lingkar pinggang lebih dari empat jengkal telapak tangannya sendiri (silakan dipraktikkan ya).
Penyadaran seperti ini penting, agar diri mau bangkit dan punya komitmen untuk berubah. Komitmen dan disiplin, menjadi dua sikap yang (penuh perjuangan) harus dipegang. Penyadaran atau mau menyadari kekeliruan, seperti ujung lorong gelap yang memberikan sinar pencerahan. Ternyata, selama ini sedang berjalan dalam gelap.
Pelaku diet, tak ubahnya seperti seorang pejuang yang berjuang keras melawan ego diri sendiri. Segala macam kesukaan pada makanan dan atau minuman musti ditahan sekuat tenaga demi kebaikan diri sendiri.
Mumpung masih awal tahun, segera masukan dalam daftar resolusi. Bagi yang sudah waktunya diet, jangan tunda-tunda. Selama masih diberi kesehatan, segera lakukan, jangan menunggu merasakan sakit seperti saya alami.
 --salam sehat--
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI