Sebuah hiasan dinding, berukuran 80 x 110 cm, masih terpasang rapi di dinding ruang keluarga kami. Sembilan tahun sudah, hiasan ini tetap dipertahankan keberadaannya.
Hiasan berbahan benang empuk (layaknya sajadah), dengan warna dasar merah marun, terdapat potongan benang sepanjang 5 cm pada pinggir kanan dan kiri.
Gambar Masjidil Haram, tertuang di permukaan hiasan tersebut. Masjid yang mengelilingi kiblat kaum muslim, menjadi jujugan jamaah haji dan umroh dari seluruh penjuru dunia.
Gambar Masjidil Haram, diambil dengan sudut pandang (lebih kurang) 45 derajad dari udara. Tampak pintu tegap berjajar, sepuluh menara tinggi menjulang, posisi Ka'bah berada persis di tengah. Gambar serupa, (saya yakin) dengan mudah bisa dijumpai di sajadah atau poster.
Hiasan dinding, bukan sembarang hiasan dinding. Ada kisah panjang di baliknya, hingga akhirnya menempel di dinding rumah saya.
Ibu membeli langsung. Dari seorang penjual, yang menggelar dagangannya, tak jauh dari pelataran masjid Nabawi di Madinah.
Seperti kita ketahui, Mekkah dan Madinah adalah dua kota suci, menjadi tonggak perjuangan Nabi, dalam menegakkan agama Islam. Membeli souvenir bergambar dua masjid di Mekah dan Madinah, sangat mudah di dua kota bersejarah ini.
Seorang penjual perempuan berkulit hitam, sangat fasih mengucapkan angka dalam bahasa Indonesia. Menawarkan dagangan, kepada setiap pejalan yang melintas di depannya.
"Lima Belas Riyal, Lima Belas Riyal."
Ibu menghentikan langkahnya, kemudian menawar,"Sepuluh."
Dua telapak tangan dibuka, sembari membentangkan semua jari-jarinya. Tawaran ibu, dibalas gelengan si penjual.
Layaknya perilaku pembeli pada umumnya, ibu (bisa jadi, pura-pura) pergi menjauh. Bermaksud mencari pembanding, untuk barang serupa di lapak lainnya.
Padahal, menjauh setelah manawar, sebagai strategi gertak sambal. Berharap penjual menahan langkah, kemudian menurunkan harga, syukur-syukur tawaran disetujui.
Namun maksud ibu, tidak beroleh tanggapan. Penjual hiasan dinding, tetap saja bergeming dengan keputusannya.
Usai subuh, di seberang pagar besi pembatas pelataran di Masjid Nabawi. Tumpah ruah pedagang, layaknya pasar kaget di daerah pinggiran Jakarta, atau kota besar lainnya.
Penjual menggelar dagangan, di atas kain atau karung tebal. Ada juga, pedagang menjajakan dagangan dengan alat besi untuk jemuran.
Aneka macam dagangan dengan mudah ditemui, mulai dari sajadah, mukena, tasbih, kerudung segitiga, tas untuk mukena, gamis (laki/perempuan), peci, sandal, mainan anak, souvenir, dan masih banyak lagi yang lainnya.
"Sepuluh riyal."
Ibu balik langkah, menghampiri lapak  yang semula ditinggalkan. Menegaskan kembali, penawaran yang telah dicetuskan. Atas pilihan sikap ibu yang balik kucing,  (saya menebak) penjual merasa menang 1 -- 0 (hehehe)
"Dua, Duapuluh lima riyal."
Sang penjual akhirnya goyah, sudi menurunkan harga jual awal. Sepertinya tak rela, calon pembeli membatalkan proses jual beli.
Ibu mengangguk, menyepakati harga diberikan penjual. Perempuan berkulit legam, bergegas membungkus barang yang diingini pembelinya.
Transaksi selesai, ibu meneruskan perjalanan menuju penginapan. Barang yang dibeli ibu, oleh-oleh untuk anak-anaknya. Berharap, kelak di setiap rumah anak-anaknya, terpasang cindera mata pemberiannya.
Di permukaannya, terdapat gambar Masjid mulia. Saya merasakan, hembusan doa seorang ibu di atas hiasan dinding ini. Doa perempuan berhati samudra, mengharapkan anak-anaknya, menginjakkan kaki di tanah kelahiran para Nabi.
Saya masih ingat, bagaimana perubahan air muka perempuan sepuh ini. Setiap mengisahkan pengalaman berhaji, wajah berkerut mendadak berseri-seri. Tidak lupa sama sekali, bahkan hapal setiap jengkal kejadian di tanah suci.
Masih saja, ada rasa tidak percaya terselip. Bahwa seorang perempuan kampung, yang hanya lulusan SD, ternyata bisa naik Haji.
"sampai sekarang, Ibu masih gak percaya, bisa sholat di depan Ka'bah"
Suara  itu berubah parau, ketika berbagi cerita di ruang tengah rumah si bungsu. Ibu, termasuk satu dari sedikit orang di kampung, yang telah menunaikan rukun islam kelima.
"Iki, oleh-olehe ibu, pasangen di rumahmu yo le..!" pesannya kala itu.
Enam anaknya sudah dewasa, tinggal di rumah berbeda. Masing- masing mendapat satu hiasan dinding, buah tangan tak ternilai harganya.
Hiasan dinding bergambar Masjidil Haram, kalau dirupiahkan senilai sekitar 45 ribu per lembar. Bagi sebagian kita, mungkin tidak terlalu mahal. Namun perhatian dan rasa sayang ibu, tidak tergantikan oleh apapun dan siapapun.
Di usia mendekati 72 tahun, ibu dilarang anak-anaknya pergi jauh. Â Apalagi, penyakit ibu pernah kambuh, sempat diopname beberapa hari di RSUD. Sejak saat itu, ibu lebih sering menghabiskan waktu di rumah.
Sekali  atau dua kali dalam seminggu, saya rutin berkabar dengan ibu via telephone. Rasanya senang, mendengar suara ibu yang jernih, tanda beliau sehat wal'afiat. Terlebih dengan adanya video call, sangat memungkinkan berkomunikasi, sambil menatap wajah ibu.
Kalau ibu kangen dengan cucu-cucunya, kami anak-anak yang tinggal di kota, mengalah pulang kampung, meski tidak lebaran.
-0-
"Satu Sepuluh, dua lima belas."
"Lima Riyal, lima riyal."
Saya menyusuri jalan, diantara dua gelaran aneka rupa dagangan. Sungguh, saya begitu menikmati suasana pagi layaknya pasar tumpah, tak jauh dari pelataran Masjid Nabawi. Langit Madinah tampak cerah, meski matahari belum terbit dengan sempurna.
Jet lag belum sepenuhnya hilang, setelah perjalanan sekitar lima jam dengan bus dari Jeddah menuju Madinah semalam. Sepanjang  perjalanan darat, waktu benar-benar saya manfaatkan untuk tidur --lumayan bisa tidur tidak nyenyak selama lima jam. Meski senyaman-nyamannya tidur di kendaraan, tetap saja capek di badan tidak sepenuhnya hilang.
Bus pengantar rombongan jamaah, akhirnya tiba di Madinah, persis saat berkumandang adzan subuh pertama -- di Madinah ada dua kali adzan subuh, dengan jarak satu jam.
"Trimakasih Ya Rabb, hamba yang hina ini, KAU ijinkan menjadi tamu-MU." Bisik hati ini.
Lima tahun setelah ibu berhaji, saya diperkenankan umroh, mengikuti jejak ibu menginjak halaman masjid Rasulullah.
Saya sangat yakin, semua keajaiban terjadi berkat doa ibu. Berkat doa ibu juga, langkah ini diringankan, rejeki datang dari pintu tak terduga.
Masih ada waktu satu jam, sampai terdengar adzan subuh kedua. Jamaah dipersilakan masuk kamar masing-masing, sejenak melempengkan badan, sekaligus bersih-bersih sekedarnya.
Ibu, adalah nama yang selalu saya sebut, dalam setiap doa panjang di tempat-tempat mustajab. Wajah ibu (juga wajah anak-anak dan istri), selalu lekat di pikiran, setiap melantunkan pengharapan sepenuh hati.
Melihat pedagang perempuan berkulit hitam, memajang hiasan dinding gambar Masjidil Haram, mengingatkan saya pada hiasan yang terpasang di dinding rumah.
"Lima Belas Riyal," ujar si penjual.
"Sepuluh," balas saya.
Sembari membuka dua telapak tangan, membentangkan semua jari-jari ini. Si penjual menggeleng, kemudian saya berlalu.
Sikap saya menjauh pergi, tidak ditanggapi. Penjual hiasan dinding tetap bergeming, sama sekali tidak kawatir, kalau saya tidak jadi membeli.
Hanya beberapa langkah kaki terayun, saya berbalik badan, kemudian mengajukan penawaran balik.
"Sepuluh riyal, please," saya memasang muka penuh harap.
"Dua, Duapuluh lima riyal , " balasnya.
Saya mengangguk setuju, menampilkan senyum lebar. Sembari menerka, jangan-jangan yang berhadapan dengan saya, adalah penjual yang bertemu dengan ibu lima tahun silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H