Sekali  atau dua kali dalam seminggu, saya rutin berkabar dengan ibu via telephone. Rasanya senang, mendengar suara ibu yang jernih, tanda beliau sehat wal'afiat. Terlebih dengan adanya video call, sangat memungkinkan berkomunikasi, sambil menatap wajah ibu.
Kalau ibu kangen dengan cucu-cucunya, kami anak-anak yang tinggal di kota, mengalah pulang kampung, meski tidak lebaran.
-0-
"Satu Sepuluh, dua lima belas."
"Lima Riyal, lima riyal."
Saya menyusuri jalan, diantara dua gelaran aneka rupa dagangan. Sungguh, saya begitu menikmati suasana pagi layaknya pasar tumpah, tak jauh dari pelataran Masjid Nabawi. Langit Madinah tampak cerah, meski matahari belum terbit dengan sempurna.
Jet lag belum sepenuhnya hilang, setelah perjalanan sekitar lima jam dengan bus dari Jeddah menuju Madinah semalam. Sepanjang  perjalanan darat, waktu benar-benar saya manfaatkan untuk tidur --lumayan bisa tidur tidak nyenyak selama lima jam. Meski senyaman-nyamannya tidur di kendaraan, tetap saja capek di badan tidak sepenuhnya hilang.
Bus pengantar rombongan jamaah, akhirnya tiba di Madinah, persis saat berkumandang adzan subuh pertama -- di Madinah ada dua kali adzan subuh, dengan jarak satu jam.
"Trimakasih Ya Rabb, hamba yang hina ini, KAU ijinkan menjadi tamu-MU." Bisik hati ini.
Lima tahun setelah ibu berhaji, saya diperkenankan umroh, mengikuti jejak ibu menginjak halaman masjid Rasulullah.
Saya sangat yakin, semua keajaiban terjadi berkat doa ibu. Berkat doa ibu juga, langkah ini diringankan, rejeki datang dari pintu tak terduga.