Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebulir Peluh Pejuang Gizi di Towe Hitam Papua

5 Desember 2017   20:09 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:29 2575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari balik kaca jendela pesawat, leher ini melongok. Mengalihkan perhatian, sejenak menepis penat. Usaha yang tidak sia-sia, mata ini menangkap panorama nirwana.

Semburat cahaya pagi, ditaburkan pada setiap pucuk daun- tanpa ada yang terlewatkan. Memantulkan warna cemerlang, pada rimbun pepohon, menghampar di belantara Papua. Bak permadani raksasa, hijau menyejukkan perasaan.

Mengamati dari ketinggian, jemu itu tak kunjung datang. Kesah menyingkir, beralih lega tak berkesudahan. Sungguh, memanjakan penglihatan.  

Putaran baling-baling pesawat capung, gemuruhnya memekak gendang telinga.  Pada lima menit pertama, memang terasa cukup menganggu.

Kami berupaya lebih, untuk sekedar berkomunikasi. Intonasi suara ditinggikan, agar ditangkap lawan bicara. Tapi pada akhirnya, telinga ini terbiasa juga.

Pesawat kapasitas delapan orang -- termasuk pilot, dari sisi kenyamanan, jangan disandingkan pesawat komersil.

Satu penumpang, duduk di sebelah kiri pilot. Tiga kursi berjajar, pada bagian tengah. Tiga penumpang lainnya, berhimpit di belakang.

Tempat yang kami duduki, mirip kursi lipat, tanpa bantalan, berbahan kain tebal dengan jahitan kuat. Dari sisi keselamatan, cukup mendapat perhatian, setiap kami memakai seat belt.

Transportasi udara, moda paling memungkinkan, menjangkau daerah pelosok, minim infrastruktur.  Untuk menyewa pesawat berbadan kecil ini, sangat menguras dompet -- nanti saya ceritakan di belakang.

Towe Hitam (lingkar merah) ada di tengah hutan - dok Septiyan
Towe Hitam (lingkar merah) ada di tengah hutan - dok Septiyan
Saya, Septiyan Rida Wati, ahli gizi, team Nusantara Sehat (NS) batch II, untuk penempatan daerah Towe Hitam Papua. Angkatan kami, adalah team NS yang kali pertama datang ke daerah ini.

-Team NS gelombang satu, total ada 7 batch, disebar serentak di berbagai  daerah pelosok-.  

Towe Hitam, sebuah desa di distrik Towe Kabupaten Keerom, Papua.  Jujur, kali pertama mendengar nama daerah ini, persis pada saat penempatan, sebagai ahli gizi team NS Kementrian Kesehatan.

Program Nawacita, sebagai bukti kehadiran pemerintah -- dalam hal ini, melalui KemenKes-, di tengah masyarakat, yang berada di DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan).

Melalui jalan inilah, dua kaki menjejak, di sebuah wilayah di perbatasan Indonesia dengan Negara Papua New Guinea.

Menempuh jalur udara, dari Bandara Sentani Jayapura menuju Towe Hitam. Membutuhkan waktu empat puluh lima menit, tak ubahnya, penerbangan dari Jakarta menuju Jogja atau Solo.

Awal Desember 2015.

Pagi di Towe Hitam, matahari masih sepenggalah. Pesawat kami tumpangi mendarat. Putaran baling-baling -- sumber suara berisik-, akhirnya mereda juga.  

Beruntung, hanya sesekali saya naik pesawat capung. Kalau saban hari, bisa-bisa pendengaran bermasalah.

dok FB Soni Tehe
dok FB Soni Tehe
Dari kaca jendela pesawat, tampak bangunan berdinding papan, dengan genteng bercat biru muda. Saya merasa, itulah puskesmas, tempat saya melewatkan hari demi hari, selama dua tahun kedepan. 

Ya. Perjalanan jauh telah ditempuh dari Bekasi, demi menuju puskemas di tengah hutan Desa Towe Hitam.

Pilot membuka pintu, mempersilakan kami turun satu persatu.  Kaget  langsung menyergap, setelah sadar, kaki ini menginjak tanah becek berlumpur bekas hujan.

Warga  berhamburan, mendekati. Beberapa langkah, dari tempat kami berdiri di dekat pintu pesawat. Orang tua dan anak-anak, tanpa baju dan alas kaki, dengan perut membesar.

"Gizi Buruk."  Insting sebagai ahli gizi bekerja.

Masih setengah mematung, barang bawaan kami diperebutkan warga. Tas slempang di pundak, tak luput dari serbuan. Kami team NS, bertatap pandang, menerka yang sedang terjadi.

Di tengah kebingungan, seseorang datang. Memperkenalkan diri, sebagai pegawai puskesmas --akhirnya kami tahu namanya Pak Jhony. Meyakinkan, bahwa semua akan baik-baik saja.

Warga menenteng bawaan, berlomba lari mendahului. Mereka lebih dulu sampai di teras, bangunan berdinding papan, jujugan kami.

"Mari, Mas, Mbak Silakan" ajak Pak Jhony

Setelah berpamitan pada pilot, tujuh team NS, mengikuti langkah petugas Puskemas. Hanya beberapa ayunan kaki, kami tiba di tempat warga membawakan barang.

Kebingungan belum tuntas, si pengangkut enggan beranjak. Saat Saya bermaksud mengambil tas slempang, barang itu didekap erat. Dari sorot mata itu, tak rela tas diambil.

"Beri mie instan "

Setelah menuruti bisikan, barulah barang dilepas, serentak warga menjauh pergi.  Sejak saat itu, pegawai puskesmas baik hati, menjadi penerang setiap ketidaktahuan kami.

-0-

Masalah gizi buruk, menjadi tugas saya. Miris hati, saat turun pesawat, melihat perut buncit sebagian warga. Sungguh, pemandangan yang memprihatinkan.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk Towe Hitam ada 1084, dengan prosentase gizi buruk 3%. kalau tidak segera ditangani, bukan mustahil, angka gizi buruk terus meningkat.

Langkah awal diambil, adalah mengadakan pendataan warga. Tantangan ada  di depan mata, tidak semua warga memiliki rumah, sebagian besar masih hidup nomaden. Kami kesulitan, melakukan  home visit,untuk penyuluhan.

"Saya tidak putus asa !"

Penyuluhan warga - dok Septiyan
Penyuluhan warga - dok Septiyan
Home Visit - FB Septiyan
Home Visit - FB Septiyan
Menginisiasi pengumpulan warga, demi penyadaran, akan pentingnya kesehatan. Mengajak warga, menerapkan "Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS)", dari hal paling sederhana, seperti mandi memakai sabun.

Kendala muncul lagi, warga tidak mampu membeli sabun. Meskipun, ketersediaan air jernih --dari aliran sungai, air sangat berkelimpahan.

Di Towe Hitam tidak ada pasar, artinya belum ada aktivitas perekonomian. Warga masih menerapkan sistem barter, hasil bercocok tanam atau berburu ditukarkan dengan kebutuhan lain.

Pernah seorang mama datang, mengantar sayur dan umbi-umbian. Mereka minta ditukar, dengan mie instan atau garam.

Hal menyesakkan pernah terjadi. Pada satu malam, pintu dan jendela rumah dinas digedor-gedor, satu diantara kami mengintip dari celah dinding papan.

Tampak beberapa pemuda, datang dalam kondisi emosi. Mereka berteriak, mengacungkan parang dan anak panah. Dari kata-kata yang ditangkap, mereka menginginkan rokok atau tembakau.

Setelah dihadapi pegawai Puskesmas, mereka pulang sembari marah. Keinginannya tidak terpenuhi- karena team NS tidak ada yang merokok-, tanaman di depan rumah dinas porak poranda.

Padahal, Kebun yang dirusak, sesungguhnya kebun gizi percontohan. Sebagai salah satu ikhtiar, mengajak warga, memanfaatkan lahan atau pekarangan.

Beruntung, kebun yang sama, diadakan di rumah kader warga. Artinya, masih ada tanaman terselamatkan, untuk memenuhi kebutuhan warga juga.

Kegiatan Mamagi - Fb Soni Tehe
Kegiatan Mamagi - Fb Soni Tehe
Semangat kami smakin membaja, demi meningkatkan pengetahuan warga. Team NS, tetap menjalankan Program Kemenkes, dengan mengadakan kegiatan makan makanan bergizi (Mamagi). Warga diajari, bagaimana mengolah makanan dengan baik dan benar.

Pemberian makanan tambahan, untuk pemulihan kondisi balita kurang gizi dan ibu hamil KEK (Kekurangan Energi Kronis). Tak lupa, memberikan vitamin A, obat cacing serta pembagian dan pemeriksaan garam beryodium.

dok ; FB Septiyan
dok ; FB Septiyan
Mengoptimalkan fungsi dan layanan Posyandu, guna memantau tumbuh kembang bayi dan balita. Hal ini rutin dilakukan, sekali dalam satu bulan.

Merubah perilaku warga, tidak semudah membalik telapak tangan. Hal ini terkendala, rendahnya tingkat pendidikan, faktor ekonomi, budaya, serta terbatasnya sumber pangan lokal.

Selang sebulan penyuluhan, masih saja ditemukan, kasus balita kurang gizi, tersebab asupan ke tubuh mungil mereka tidak diperhatikan orang tuanya.

Sementara, masalah kesehatan orang dewasa, terjangkit Malaria dan ISPA. Towe Hitam, termasuk daerah endemik Malaria. Sedang penyakit ISPA, disebabkan kebiasaan masyarakat, suka tidur dekat tungku perapian dan tinggi konsumsi tembakau.

Untuk menambah pengetahuan, pernah kami membuka kelas membaca, hanya seminggu dua kali. Meski sebenarnya, bangunan Sekolah sudah ada, tapi tak ada guru dan tiada kegiatan.

Upaya kami, ditanggapi sebelah mata. Bisik-bisik itu sampai di telinga, warga bersikeras, daripada belajar lebih baik membawa anak berburu babi hutan.

Kalaupun mengirim anak belajar, syaratnya, pulang musti diberi bahan makanan. Hal ini menjadi dilema, mengingat kami juga menghemat stock makanan.

-0-

Puskesmas Towe Hitam - dok FB Soni Tehe
Puskesmas Towe Hitam - dok FB Soni Tehe
Puskesmas Towe Hitam, terletak di tengah hutan. Tiada alat transportasi, tiada signal telepon, untuk penerangan mengandalkan listrik tenaga surya.

Untuk belanja kebutuhan, kami mengandalkan pesawat sewaan Kemenkes, datang mengirim obat dan perlengkapan lain.

Rasanya tak sanggup carter sendiri, musti menyiapkan dana 17 -- 22 juta sekali sewa. Sekali belanja, untuk persediaan selama enam bulan kedepan bahkan lebih.

Jarak antar kampung sangat jauh,  terdekat adalah Kampung Bias, itupun hanya bisa dicapai dengan jalan kaki, selama delapan jam. Ada lagi Kampung Tefalma, mencapainya butuh waktu tiga hari dengan jalan kaki.

melintasi jalan setapak - FB Soni Tehe
melintasi jalan setapak - FB Soni Tehe
Pernah satu saat, kami melakukan layanan PIN (Pekan Imunisasi Nasional). Sungguh berat medan untuk menuju lokasi,  kami musti menyusuri sungai, lembah terjal dan curam.

Karena kecapekan, terbetik ide menghayutkan diri di sungai. Sekitar dua jam di aliran air, lumayan menghemat energi dan mengurangi kram pada kaki.

Menghayutkan diri di sungai - dok fb Septiyan
Menghayutkan diri di sungai - dok fb Septiyan
Kesulitan bertambah, ketika ada kasus pasien dirujuk ke rumah sakit di kota. Terpaksa, menunggu sampai berminggu-minggu. Berjaga, ada pesawat sedang singgah dari tempat lain.

Pada titik ini, saya merasakan manfaat pelatihan bela negara, pernah diberikan sebelum penempatan ini.

Waktu ke waktu berlipat, berkelindan dan terus melaju. Jelang duapuluh empat bulan terlewatkan, saatnya musti beranjak pergi.

Matahari, tanah, rumput, sungai, bebatuan, udara, langit, pepohonan, angin dan semua tentang Towe Hitam terasa menyatu di kalbu.

Peluh keringat sebagai ahli gizi, semampunya telah saya upayakan. Setitik kontribusi ini, sungguh belum berarti, bagai setetes air di hamparan sahara.

Sementara, angka status gizi buruk, belum juga beranjak membaik secara signifikan. Masih pada kisaran 3%, artinya edukasi warga musti terus dilakukan.

Pembangunan kesehatan, sudah smestinya sejalan, dengan pembangunan sektor pendidikan dan ekonomi.

Warga yang tidak mampu baca tulis, warga yang tiada penghasilan. Otomatis, menjadi warga yang minim kesadaran kesehatan.

Perjuangan itu belum selesai, tongkat estafet team NS bacth II, akan diserahkan pada angkatan berikutnya.

FB Septiyan
FB Septiyan
Saya masih malu, bicara tentang sumbangsih bagi negeri. Apa yang saya lakukan, masih terlalu sedikit dan sangat kecil. Rasanya, hanya mampu berpaut asa, pada team NS berikutnya, untuk meneruskan jejak telah tercipta.

Sebagai agent of change, tak  ada kata lelah, melakukan perubahan pola pikir masyarakat. Meningkatkan  pengetahuan warga, perihal pentingnya kesehatan. Sehingga, senyum mengembang itu, akan menjadi milik warga Towe Hitam.

Akhir Oktober 2017.

Tiga hari terakhir, ada yang terasa beda. Para mama kerap berkunjung, membawa sayur dan hasil hutan lainnya. Mie instan dan garam saudah saya siapkan, sebagai pengganti persembahan. Namun, belakangan barang pengganti itu ditepis.

"Sa so, saya punya sayur, tak usah diganti," mata jernih itu menatap sayu, "Kakak, tetaplah di sini"

Permohonan itu, sontak, membuat  rongga dada penuh sesak. Sudut mata ini, tiba-tiba berembun. Kabar purna tugas team NS batch II, rupanya telah sampai di telinga warga.

Septiyan Rida Wati - FB Septiyan
Septiyan Rida Wati - FB Septiyan
"Mama, pergilah ke Jakarta, lihat punya tugu monas."

Kalimat penghiburan itu, sejenak menerbitkan senyum getir. Meski sejatinya, tak sanggup melunturkan beban di dada. Kami membesarkan hati warga, sebentar lagi datang team NS batch berikutnya.

-0-

Bersama warga Towe Hitam - FB Septiyan
Bersama warga Towe Hitam - FB Septiyan
Matahari masih sepenggalah, halaman rumah dinas dipenuhi warga. Pesawat Capung datang, membawa tenaga guru --bertahap dikirim total 15 guru-, akan disebar di distrik Towe.

Saya mendengar,  ada program Guru Garis Depan (GGD), merupakan program afirmasi dari Kemendikbud. yaitu penempatan guru status PNS, di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal.

Pilihan daerah GGD, mengacu data rekomendasi Kementrian Desa PDTT. Towe Hitam, mendapat tiga pahlawan tanpa tanda jasa.

Sepercik asa berpendar, sudut bibir ini memanjang,  membayangkan dari ruang kelas di Towe -- yang selama ini kosong, terdengar kegiatan belajar mengajar.

GGD , akan menyibak gulita buta aksara Towe Hitam. Menerbitkan  cercah, di sanubari orang tua dan anak-anak pedalaman Papua.

Langit Towe Hitam Papua - dok FB Septiyan
Langit Towe Hitam Papua - dok FB Septiyan
"Kalian masih punya waktu, nanti pesawat datang lagi"

Kalimat pilot, menjadi alasan warga, menahan kaki kami tidak melangkah. Memandangi para bapa, mama dan anak-anak, membuat jarum waktu berputar balik. Menampikan kolase gambar buram, dua tahun silam saat kedatangan.

Langit Towe mendadak gelap, daun kering terbang kemana suka. Gorden melambai-lambai, menerobos sela jendela yang terkuak. Biasanya, pesawat tidak datang, dalam cuaca kurang bersahabat.

"DUAAAAAAR!!"

Layaknya blitz kamera, membuat warga kaget, berhimpun di teras. Mendung telah berubah, menumpahkan air sangat rapat. Pelataran, pekarangan, pepohonan dan tanaman di kebun gizi, disirami tanpa ampun.

Perkiraan kami salah total, di tengah deras, pesawat capung memaksa merapat ke tanah lapang. Baling-baling terus berputar, mengiris-iris jatuhnya air hujan.

Sang pilot tak keluar, rupanya enggan beranjak dari duduk. Kami bertatap pandang, tangan kanan memegang kemudi diangkat, memberi isyarat.

"Ya. Tiba saatnya, Kami benar-benar pulang."

Tak peduli hujan, warga berlarian, mengangkat bawaan kami ke dalam pesawat. Baju, celana, tubuh mereka kuyub, tak ubahnya seperti kami.

Satu persatu team NS, mengisi kursi demi kursi kosong. Bapa, mama dan anak-anak, masih bertahan di dekat pintu pesawat yang sudah ditutup.

"O'ya Saya ingat".

Sudah menyiapkan beberapa bungkus mie instan, sebagai upah angkat barang. Pintu pesawat yang baru ditutup, dikuakkan sedikit, sembari mengulurkan barang, yang kerap warga ingini.

Uluran itu, tidak disambut. Mereka menggeleng perlahan, sejenak berikutnya melambaikan dua tangan. Air hujan terus mengguyur, membuat kami kesulitan memastikan, apakah bola mata bersahaja itu telah basah.

Sementara, kami bertuju tak mampu membendung pertahanan. Gemuruh di dada, pecah juga, air bening mengaliri pipi kami.

Perlahan, baling-baling mengangkat pesawat mengudara. Deras hujan, sederas isak tujuh anak muda team NS. Tangan kami membalas lambaian.

Bapa, mama dan anak-anak Towe Hitam, aku berhutang kasih pada kalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun