Dari balik kaca jendela pesawat, leher ini melongok. Mengalihkan perhatian, sejenak menepis penat. Usaha yang tidak sia-sia, mata ini menangkap panorama nirwana.
Semburat cahaya pagi, ditaburkan pada setiap pucuk daun- tanpa ada yang terlewatkan. Memantulkan warna cemerlang, pada rimbun pepohon, menghampar di belantara Papua. Bak permadani raksasa, hijau menyejukkan perasaan.
Mengamati dari ketinggian, jemu itu tak kunjung datang. Kesah menyingkir, beralih lega tak berkesudahan. Sungguh, memanjakan penglihatan. Â
Putaran baling-baling pesawat capung, gemuruhnya memekak gendang telinga. Â Pada lima menit pertama, memang terasa cukup menganggu.
Kami berupaya lebih, untuk sekedar berkomunikasi. Intonasi suara ditinggikan, agar ditangkap lawan bicara. Tapi pada akhirnya, telinga ini terbiasa juga.
Pesawat kapasitas delapan orang -- termasuk pilot, dari sisi kenyamanan, jangan disandingkan pesawat komersil.
Satu penumpang, duduk di sebelah kiri pilot. Tiga kursi berjajar, pada bagian tengah. Tiga penumpang lainnya, berhimpit di belakang.
Tempat yang kami duduki, mirip kursi lipat, tanpa bantalan, berbahan kain tebal dengan jahitan kuat. Dari sisi keselamatan, cukup mendapat perhatian, setiap kami memakai seat belt.
Transportasi udara, moda paling memungkinkan, menjangkau daerah pelosok, minim infrastruktur. Â Untuk menyewa pesawat berbadan kecil ini, sangat menguras dompet -- nanti saya ceritakan di belakang.
-Team NS gelombang satu, total ada 7 batch, disebar serentak di berbagai  daerah pelosok-. Â