Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Beda Pendapat Penggunaan Gawai, antara Orang Tua dan Anak

2 Desember 2017   08:52 Diperbarui: 3 Desember 2017   02:31 2370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lizi Santosa - dokpri

Bicara antara gadget dan anak, sebagian besar orang tua, tak jarang langsung under estimate. Bahwa pemakaian gadgetoleh anak, diidentikkan dengan melulu hal negatif.

"Jadi males belajar", "kurang bersosialisasi", "jadi anak introvet", "kurang sikap empati", "serba instan", dan lain sebagainya. Silakan lanjutkan sendiri.

Kerap terdengar juga, para orang tua membanding-bandingkan, bagimana zaman dulu dan bagaimana zaman sekarang.

Anak-anak zaman dulu --sekarang sudah jadi ayah dan atau ibu, bersikap sopan santun kepada orang tua. Kalau ngobrol dengan orang tua, tidak berani menatap langsung pada mata. Disuruh mengerjakan apapun, tidak membantah apalagi mendebat.

Masalah permainan, anak zaman dulu --diidentikan, dengan kreativitas dan banyak gerak. Karena masih mengandalkan permainan tradisional, seperti permainan benteng, menuntut anak banyak lari. Permainan petak umpet, mampu menstimulus anak berpikir dengan penuh perhitungan.

Belum lagi masalah makanan, anak jaman dulu, lebih banyak konsumsi, makanan yang diolah oleh ibu di rumah. Boro-boro makan junk food, pergi ke Mall juga jarang, biasanya kalau weekend, tersebab jumlah pusat perbelanjaan masih sedikit.

Begitu seterusnya dan seterusnya, obrolan iseng atau curhat ada dimana-mana. Mulai dari group Whatsapp, komunitas SMA di FB -- biasanya lulusan tahun 90-an, ibu arisan, atau kumpulan para orang tua, berumur 35 tahun ke atas.

Sebagian besar masih berpendapat, bahwa jaman dulu lebih enak. Bahwa generasi jaman dulu, lebih ini dan lebih itu.

-0-

Saya pernah menghadiri sebuah talkshow, menghadirkan nara sumber Elizabeth Santosa, psikolog, praktisi di Komnas Perlindungan Anak dan penulis buku.

Lizi Santosa - dokpri
Lizi Santosa - dokpri
"Mengapa, ada jurang pemikiran antara anak dan orang tua?" ujar Lizi, sapaan akrab Elizabeth Santosa.

Jawabnya sederhana, karena kita, para orang tua menilai sesuatu, selalu menggunakan sudut pandang sendiri.

Kita merasa, seolah-olah, pendapat kita para orang tua yang paling benar. Atau zaman yang memproduksi para orang tua sekarang, lebih dan lebih dibanding zaman sekarang.

Ayah dan bunda. Selama bumi ini masih berputar pada porosnya, maka perubahan akan menjadi sebuah keniscayaan.

Meskipun kita mengklaim, zaman dulu paling ini dan paling itu sekalipun, nyatanya zaman itu sudah berlalu dan selesai. Seindah apapun zaman dulu, toh kita tidak bisa memutar balik waktu, untuk kembali ke masa lalu.

Kita hidup di masa kini, tentu dengan tantangan zaman yang jauh berbeda. Tidak ada guna, mengutuk keadaan, karena kutukan itu tidak akan merubah apa-apa.

So, kita yang musti menyesuaikan perkembangan. Kita, para ayah dan bunda, yang musti meng-upgrade diri sendiri.

Jangan membiarkan, diri ini tertinggal pada masa lalu. sesekali bernostalgia tidak masalah, tapi kalau terbawa terus masa lalu, tidak terlalu banyak guna.

Anak dan gadget

Era millenial, diiringi dengan dahsyatnya perkembangan digital. Semua sektor, kini sudah berbasis teknologi dan digital.

Zaman dulu, (mungkin) sama sekali tidak kepikiran. Bahwa beli makanan, bisa melalui smartphone dan diantar sampai depan rumah pula.

Belum lagi kemudahan lainnya, seperti pesan ojek, belanja baju, belanja peralatan dapur, belanja kebutuhan rumah tangga, sampai urusan perbankan. Semua bisa terselesaikan, cukup dengan ujung jari, tanpa beranjak dari tempat duduk.

Jangan dipungkiri itu, kita para orang tua, sudah merasakan keenakan-keenakan, dengan kehadiran smartphone.

Daaan. Kalau kita, melarang anak-anak menyentuh gadget. Betapa kasihan, anak-anak diajak untuk kembali ke zaman bapak ibunya.

Gadget, sudah menjadi kebutuhan untuk era sekarang. Melarang memakai gadget, sama seperti menutup diri akan perkembangan zaman.

Bahwa muncul kekhawatiran, anal-anak akan kecanduan gadget. Sebenarnya, itu hanya masalah, bagaimana peran orang tua, mensupervisi anak-anak.

Ajak anak duduk bersama, buat kesepakatan yang menguntungkan dua belah pihak. Atur waktu, kapan anak boleh pegang smartphone, kapan tidak boleh. Orang tua juga musti menyediakan diri, bersama dengan anak di depan layar smartphone.

Jangan lupa, buat jadwal pergi dan beraktivitas fisik bersama. Mengunjungi taman kota, berolah raga di hari libur akhir pekan. Pergi dengan transportasi publik, keliling kota menikmati pemandangan.

Dengan kebersamaan yang berkualitas, membuat hubungan anak dan orang tua semakin erat. Kita, lebih mudah mengatasi perbedaan cara berpikir.

Perlu digarisbawahi, gadgettidak melulu berisi pornografi. Ada sisi positif dari gadget, dan itu musti dikedepankan, agar anak-anak memahami hal tersebut.

Melalui gadget, kita bisa mengetahui banyak pengetahuan baru. melalui games -- yang positif, anak-anak bisa terpacu untuk berpikir kritis.

Kalau ada anak (katanya) ngeyel, bisa jadi, petanda orang tuanya, musti belajar dan belajar agar lebih pintar. Sehingga bisa mengatasi kebutuhan si anak, sehingga bisa diarahkan dengan baik.

Jadi, aneh kan, kalau di zaman digital, justru melarang anak-anak memegang gadget?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun