Pernikahan ibarat pintu gerbang, memasuki babak baru dalam tahap kehidupan. Pernikahan ibarat menyatukan dua orang, sebagai suami istri, tentu dengan tanggung jawab masing-masing.
Suami istri, tetaplah dua orang berbeda. Memiliki latar belakang tidak sama, serta memiliki karakter sendiri-sendiri. Karena perbedaan itulah, suami istri punya kewajiban, saling menyesuaikan demi keharmonisan rumah tangga.
Bagaimanapun sebuah pernikahan, baik dijalani pasangan belia atau cukup umur, baik status perjaka atau duda, melewati masa pacaran atau tidak. Saya berani jamin, pasti ada masa transisi dan atau penyesuaian.
Bagaimana tidak, pagi saat bujang bangun tidur sendiri, tiba-tiba ada pasangan di sebelah kita. Kala perjaka, berangkat kerja tinggal nyangklong tas. Berubah ada istri menyiapkan sarapan, mengantar sampai depan pintu.
Bagi perempuan, siap menjadi kepala rumah tangga dengan segenap kerepotannya. Istri yang pekerja kantoran, musti siap punya kesibukan double.
Penyesuaian, menjadi sebuah keniscayaan. Masa ini, sangat memungkinkan seorang suami dan atau istri, mengalami tahapan yang disebut culture shock. Sebuah kejutan, dari kebiasaan bebas sebagai single, musti memikirkan/menjaga perasaan pihak lain.
Pada kondisi inilah, asal muasal give and take (jangan take and give ya). Bahkan suami dan atau istri, musti siap memberi tanpa ada syarat.
Kalau pasangan baru, enggan menambah ilmu dalam berumah tangga, bisa-bisa terjadi peselisihan meski untuk hal yang kecil. Kalau dibiarkan berlanjut, bukan tidak mustahil perlahan-lahan akan membesar.
Dari beberapa sumber buku saya baca, ada hal yang musti disadari pasangan baru;
1. Perbedaan jangan dijadikan masalah
Seperti di awal tulisan ini, suami istri adalah dua orang berbeda. Jadikan kondisi tersebut, sebagai ajang saling belajar memahami satu dengan lainnya.
Sebagai dua pribadi, pasti tumbuh di lingkungan berbeda, memiliki latar belakang pendidikan, pergaulan, lingkungan atau teman yang tidak sama.
2. Berusaha mencari persamaan
Tak dipungkiri, suatu saat pasti ada rasa kecewa atau tidak sreg dengan pasangan. Namun jangan berhenti, teruslah berusaha untuk menemukan "klik."
Ibarat mur dan baut, kebersamaan justru akan lebih menguatkan. Kalau mur dan baut terpisah, tidak akan bisa digunakan secara optimal.
Sementara abaikan ide, bahwa kita akan cocok dengan orang yang banyak persamaan. Percayalah, kehidupan telah menurunkan takdir pada kita.
Bahwa pasangan yang ada saat ini, adalah jodoh terbaik diberikan kehidupan. So, seberapapun perbedaan itu, tumbuhkan sikap saling melengkapi.
4. Proses penyesuaian tidak instan
Proses penyesuaian suami dan atau istri, sebuah keniscyaan yang tidak bisa dihindari. Penyesuaian membutuhkan waktu, tidak ada yang instan dan tidak bisa dibatasi waktu.
Bisa saja, butuh penyesuaian enam bulan, satu tahun, dua tahun. Semua proses penyesuaian, tergantung seberapa cepat sebuah pasangan belajar.
5. Raihlah tahap penerimaan
Puncak dari sikap menyesuaikan, sebuah tahap yang disebut "penerimaan". Pada fase "penerimaan", setiap pasangan suami/istri bisa menjajaki sikap dewasa.
Sikap kedewasaan, tidak lagi ditentukan karena faktor usia, tidak terpengaruh kondisi ekonomi atau seberapa lama pacaran. Dewasa dalam berumah tangga, bisa ditandai bagaimana suami/istri sadar peran masing-masing.
Jangan melontarkan terlalu banyak kalimat, terutama ketika dalam keadaan emosi. Lebih baik diam dan menahan ucapan, biarkan amarah di dada mereda. Apalagi menghadapi pasangan, notabene pihak yang semestinya disayang dan dilindungi.
Rasulullah SAW memberi contoh, saat emosi sebaiknya duduk, kalau belum reda segera ambil wudhu dan sholat kemudian doakan pasangan kita. Alloh SWT Maha membolak balik hati, ibarat pepatah "sekeras apapun batu akan lubang oleh tetesan air".
7. Jangan merasa menang sendiri
Bagi laki-laki, lazimnya selalu mengandalkan logika. Ingat, menang berdebat dengan istri bukan berarti memenangkan segalanya.
Bagi perempuan, kerap mengandalkan perasaan. Permasalahan tidak bakal selesai, hanya dengan cucuran air mata. Sebaiknya dipadukan, kapan menyelaraskan logika dan perasaan.
*mungkin ada point lain, silakan tambahi sendiri
-0o0-
Indahnya masa penyesuaian, ditentukan oleh pasangan pengantin itu sendiri. Membangun sikap saling menghargai, musti dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu suami dan istri.
Seganteng atau secantik paras, seberlimpah apapun kekayaan, itu semua bukan jaminan. Kalau masih mengunggulkan kemauan diri, esensi pernikahan adalah ajang mengelola ego pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H