Dalam gambar saya terima, kegembiraan tampak jelas terpancar, kedua mempelai begitu mempesona dan manglingi. Doa terpautkan, semoga mempelai berdua berlimpah berkah, menjadi perkawinan yang langgeng, mewujudkan keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah---amin.
Perasaan ini antara sedih dan senang, sedih tidak bisa datang dan senang karena turut merasakan kebahagiaan pasangan baru.
Setiap mengingat rangkaian pernikahan, acara paling sakral menurut saya adalah saat akad atau ijab. Prosesi akad ibarat serah terima seorang anak perempuan, diserahkan dari orang tua kepada suaminya.
Lazimnya dibarengi perasaan mengharu biru, kedua belah pihak antara yang menyerahkan dan yang menerima merasakan hal yang sama.
Sepuluh tahun  lebih peristiwa akad saya lalui, rasanya masih terekam jelas suasana perasaan kala itu. Detik demi detik menjelang dilangsungkan ijab kabul, dilanjutkan mengucapkan ikrar suci pernikahan.
Menjadi suami istri adalah proses belajar tiada henti, saling menghargai dan menjaga perasaan satu sama lain. Saling menyesuaikan pendapat, agar kemauan dua orang suami istri bisa selaras.
Menikah, bukan lagi berpikir tentang aku, tapi sudah berpikir tentang bagaimana kita. Kalau masih mengedepankan kepentingan diri sendiri, berarti masih egois dan belum siap mendewasa.
Sikap dewasa, adalah sikap menomorduakan kepentingan sendiri. Karena ada kepentingan pasangan, harus dipertimbangkan dikompromikan agar seiring sejalan.
Siapa bisa menjamin, tidak ada konflik dalam kehidupan pernikahan. Jangankan dalam pernikahan, yang belum punya pasanganpun pasti punya masalah dan atau konflik.
Teringat pesan pernikahan, kalau berantem dengan pasangan jangan lama lama marahannya. Jangan gengsi meminta maaf lebih dulu, meskipun tidak berada pada posisi salah. Menyenangkan hati pasangan itu berpahala, daripada keras hati dengan pendapat sendiri.