Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perkawinan adalah Tentang Bagaimana Mengelola Ego

7 September 2017   07:58 Diperbarui: 7 September 2017   17:06 3606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan media sedang ramai memberitakan, kasus meninggalnya seorang pegawai sebuah Instansi di tangan suaminya sendiri. Beredar transkrip percakapan (via telepon), si istri sangat kasar ucapannya pada suami.

Kalimat terlontarkan begitu meledak ledak, umpatan dan makian meletup bertubi tubi. Beberapa kalimat disamarkan oleh media, memanggil suaminya sendiri dengan kata ganti nama binatang.

Sangat tidak harmonis hubungan terjadi, peran istri pun peran suami sedang berlangsung tidak sebagaimana mestinya. Istri tampak begitu mendominasi, sebaliknya si suami terkesan tertekan dan tiada berdaya.

Sungguh, miris dan prihatin. Wilayah private keluarga, tiba tiba menjadi konsumsi publik yang begitu luas. Alhasil membuka peluang publik, menggunjing dengan segala versi sesuai lintasan ada di kepala masing masing.

Pasca peristiwa memilukan sekaligus memalukan, yang menjadi pikiran saya adalah nasib anak-anaknya. Preseden buruk telah terjadi, pasti membekas dalam di kalbu buah hati mereka.

Anak anak merekam semua kejadian, susah dihapus sampai kapanpun. Apa yang mereka lihat dan dengar, tentu akan memberi dampak bagi psikologis anak-anak.

Saya tidak sedang menghakimi, sebagai pihak luar dan tidak kenal sama saya tidak sedang menilai tentang salah dan benar. Belajar dari kasus tersebut, ego sedang bersorak sorai memenangkan pertempuran.

Ego, menjadi muasal kejadian buruk itu. Hubungan dalam sebuah perkawinan, laksana medan perbenturan ego sepasang suami istri. Ikatan pernikahan, semestinya sebagai peluang suami dan atau istri belajar mengelola ego diri.

Mengalah satu sama lain tidaklah buruk, justru menjadi cara mengalahkan kemauan diri sendiri. Hanya sikap mengalah dengan pasangan, niscaya sebuah hubungan bisa bertahan dalam waktu panjang.

Bukankah musuh terbesar adalah diri sendiri, yaitu melawan emosi bergolak agar tidak meledak dan liar.

Saya teringat kisah Rasulullah SAW, seusai pulang dari perang badar sebuah perang paling besar sepanjang sejarah kehidupan. Baginda Nabi berkata, Kita baru pulang dari peperangan kecil menuju peperangan besar.

"Perang paling besar itu, adalah peperangan melawan diri sendiri."

-0o0-

beritaenam(dot)com
beritaenam(dot)com
Perempuan usia tigapuluhan, badannya ringkih dua bola mata memerah sembab. Bertahan hidup satu atap, kerap mendapat perlakuan kasar suami baik secara fisik atau psikis.

Badan kerempengnya, dijadikan sansak hidup lelaki yang smestinya menjadi pelindungnya. Tamparan di pipi, pukulan di badan sudah biasa didapati. Kalaupun dia mencoba melawan, dijamin tenaganya tak bakal sanggup menandingi.

Pendengarannya mulai kebal, dengan kalimat caci dan merendahkan. Perangi tak bersahabat didapati, dirinya hanya bisa membalas dengan tangis dan air mata.

Sebagai manusia biasa, pasti ada saat tak kuasa menahan nestapa. Mencoba membalas sebisanya, meski tetap saja tak sebanding dengan akibat ditanggung.

"Dasar B*d*h" umpat si suami

"Kalau aku pintar, pasti tidak mau menjadi istrimu" balasnya menahan air mata

Tenaga lemah itu, tak sanggup mematahkan kekuatan otot lelakinya. Derai air mata dan isak tangis, tidak serta merta merubah keadaan. Sungguh nelangsa, penyesalan dirasa ibarat pepatah 'nasi sudah menjadi bubur.'

Meskipun rumah bagai neraka, keputusan menikah adalah keputusan besar yang diambil sendiri tanpa paksaan. Apapun konsekwensi dijalani, baginya pernikahan adalah satu hal yang musti dipertahankan.

Sapa sangka, keputusan bertahan justru menggandakan kesabaran. Ketiadaberdayaan dilakoni, justru menumbuhkan sikap pasrah seteguh karang. Perempuan ini menyakini, hukum kehidupan berlaku adil pada saat yang tepat.

Apa yang membuat ibu ini tak bergeming, jawabnya adalah anak-anak. Yup, anak sebagai alasan utama. Drinya sendiri tidak terlalu dipentingkan, meski rela dijadikan pesakitan atas perilaku suami sendiri. 

Tumbuh kembang dan masa depan buah hati, menjadi skala prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar.

Alasan selebihnya, bagaimana dia menjaga perasaan orang tuanya yang sudah sepuh. Bagaimana menjaga keutuhan keluarga telah dibangun, terutama dari pandangan tetangga dan lingkungan pergaulan.

Apakah mudah, tentu keputusan yang sangat tidak mudah. Pengorbanan demi pengorbanan ditempuh, atas pilihan sulit yang diambil sepenuh kesadaran.

Jangan bicara tentang HAM dan kesetaraan gender, ilmu perempuan ini tak sampai sejauh itu. Baginya bisa bertahan demi anak anak, itu saja sudah lebih dari cukup.
-0-

Masa melipat peristiwa demi peristiwa, beriring perjalanan waktu, kehidupan punya cara sendiri membalik keadaan.

Lelaki berbadan perkasa itu, menginjak usia enampuluhan raganya ringkih melemah. Kekuatan dulu bersemanyam di tubuh sirna, berganti dengan merasakan penyakit ini dan penyait itu. Raut muka keras, sorot mata tak bersahabat, sekelebat masih melekat pada paras.

Watak kaku tak serta merta luntur, meski tak lagi dimbangi tenaga kuat. Saya berani menjamin, dengan sekali pukul dan tendangan pertahanan badannya langsung tumbang.

Perempuan memendam lara, bersetia pada lelaki yang telah membuatnya nelangsa. Mengurus dengan telaten si suami, layaknya mengurus kanak-kanak. Perempuan yang diabaikan dari sikap ramah, bertahan mendampingi disaat raga suami melemah.

Kini nyaris tiga dasawarsa perjalanan rumah tangga, anak anak tumbuh dewasa dan menikah. Dua cucu mewarnai hari tua, sebentar lagi anak kedua melepas mas lajang.

Ganjaran atas pengorbanan panjang dirasakan, anak dan cucu sangat menyayangi perempuan usia setengah abad. Rona sumringah menghias, membasuh duka dan luka hati sekian lama ditanggung.

Saya mengenal dua tokoh nyata ini, mengambil banyak pelajaran dan inspirasi. Ada jatah luka ada jatah bahagia bagi setiap manusia, tergantung bagaimana manusia itu sendiri memaknai.

Semakin ego selalu ditonjolkan, sejatinya kita memupuk kekalahan demi kekalahan. Bagi pasangan yang merasa didholimi, hukum kehidupan memberi balasan sendiri. Sesungguhnya perkawinan bukan tentang aku (baca ego diri), tapi tentang kita, tentang anak-anak, tentang orang tua dan tentang semua. 

Perkawinan adalah tentang bagaimana mengelola ego --salam-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun