Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Puasa Seharian, Ternyata Tidak Berat

30 Mei 2017   06:24 Diperbarui: 30 Mei 2017   07:00 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi foto ; rumahkeluargaindonesia(dot)com

Awal puasa tahun ini, sungguh perasaan saya cukup was-was. Pasalnya gadis kecil dirumah kami sudah lulus taman kanak- kanak, ada keinginan si ayah agar ragil bisa puasa sehari penuh. Kalau dari kecil sudah tumbuh kesadaran,  saat besar tidak perlu diperintah berpuasa. 

Untungnya setahun sebelumnya,  saat umur lima tahun sudah dilatih puasa bedug/ setengah hari. Setidaknya sudah tidak asing dengan puasa, bisa turut merasakan perjuangan tidak makan dan minum.

Saya berusaha memutar otak, mencari cara agar gadis kecil ini sanggup puasa seharian. Beberapa kalimat saya rangkai, agar mudah dipahami dan tidak terkesan memaksa.

“Waktu adik TK B, sudah puasa setengah hari ya”

Wajah polos itu menantap ayahnya, masih dengan sorot mata penuh tanda tanya. Jelas sekali si anak belum paham, mau kemana arah pembicaraan si ayah. Saya sendiri masih meraba-raba, bibir ini mengeluarkan kata-kata semau sendiri. Belum ada sinkronisasi dengan otak, sehingga saya biarkan sesukanya.

“Dulu waktu umur enam tahun,  Kakak sudah kuat puasa sehari lho. Kali pertama kakak puasa sehari, langsung genap puasa sebulan tanpa batal.”

Tiba-tiba saya merasa menemukan kata pembuka yang pas, sehingga mudah menggiring pembicaraan menuju tujuan yang dimaksud.

“Alhamdulillah” bisik saya dalam hati

Beberapa  anak tetangga yang teman sepermainan,  juga sudah genap puasa seharian sejak kelas satu. Nama-nama geng’s adik disebut satu persatu, menjadi amunisi untuk membangkitkan semangat gadis kecil ini berpuasa.

Sungguh si ayah sangat berhati-hati, menghindari kalimat perintah dalam dialog ini. Agar si adik mau menjalankan puasa, semata-mata niat itu timbul dari keinginan sendiri dan bukan karena “takut” atau dipaksa ayahnya.

Wajahnya terlihat  mulai paham maksud si ayah, guratan ceria masih terpancar di parasnya. Menunggu jawaban si adik, ternyata tak kalah bikin deg-degan. 

“Iya Ayah, adik mau puasa sehari penuh” jawabnya datar tanpa paksaan

Saya tersenyum simpul, terselinap perasaan lega mendengar pernyataan ini.  Namun tugas belumlah selesai,  tentang menjaga niat puasa agar kuat di hari pelaksanaan puasa. Apalagi pada hari pertama Ramadan, lambung dan pencernaan gadis ini sangat butuh adaptasi.

-0o0-

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri
Sehari jelang Ramadan, pengurus RT mengadakan pawai obor keliling perumahan. Gadis saya terlihat bersemangat dan riang, berbaur dengan teman seumuran  berbaris membawa lampion yang disiapkan remaja masjid.

Suara takbir menggema di sepanjang jalan komplek, dari suara polos anak-anak dan remaja. Takbir yang menyejukkan kalbu, menghadirkan suasana berbeda namun penuh kekhusyuan.

Malam pertama Ramadan ditunaikan sholat taraweh, si kecil berbaur gembira penuh suka cita sambut Ramadan. Sesampai di rumah si ayah membimbingnya niat berpuasa, besar harapan puasa tahun ini menjadi moment tak terlupakan.

Sebagai manusia biasa sekaligus seorang ayah, ingin bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Membimbing anak-anak tahu kewajiban menjalankan perintah agama, yang akan menjadi pegangan seumur hidup di dunia fana.

Bukankah ayah si kepala keluarga, punya tanggung jawab besar terhadap seluruh anggota keluarganya. Terhadap istri dan anak-anak yang belum baliq (dewasa), ayah memegang peranan penting bagi pembentukan akhlak.

Sahur hari pertama si kecil ikut bangun, karena ngantuk minta disuapi sambil duduk di depan televisi.  Awal Ramadan kebetulan sekolah diliburkan, setelah sholat subuh kami biarkan tidur dan bangun siang.

Ngabuburit ayah dan anak -dokpri
Ngabuburit ayah dan anak -dokpri
Sampai adzan duhur terdengar masih adem ayem, beberapa kali langkahnya menuju dapur merapat ke kulkas. Ibunya seperti petugas jaga, mengingatkan kalau adik sedang puasa. Tersirat wajah kesal, ketika tangan itu mengambil biscuit kemudian diletakkan kembali.

“Sebentar lagi adzan ashar, setelah sholat kita ngabuburit yuk”

Ajakan ibu manjur, membuat wajah plos sedang murung kembali cerah. Kegiatan jalan-jalan beli takjil, benar-benar mengalihkan perhatian dan menghilangkan penat. Tahu-tahu sudah jam 17.15, kami kembali ke rumah dan menyaksikan acara televisi.

Hingga kumandang adzan maghrib terdengar, “Alhamdulillah Adik bisa puasa sehari penuh” sorak ayah ibu dan kakak. Senyum malu-malu itu muncul, sembari menikmati soup buah yang dibeli saat nagbuburit.

Saat tulisan ini ditulis, tiga hari sudah terlewati dengan puasa. Si kecil  tetap bersemangat, tiga orang terdekat dengannya selalu menjaga niat bungsu ini.  Agar tuntas sampai sebulan penuh, merasakan idul fitri dengan perasaan fitrah.- amin. “Ah, nikmatnya berpuasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun