Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik Seru Lebaran Haru

23 Mei 2017   23:01 Diperbarui: 23 Mei 2017   23:17 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah hampir seperempat abad merantau,  kegiatan mudik telah menjadi bagian dari hidup saya. Dulu semasa masih bujangan, sembilan tahun saya melewatkan waktu di kota Pahlawan. Mudik menjadi urusan yang sangat praktis, karena hanya membawa diri sambil nyangklong ransel.

Dengan jarak tempuh sekitar empat sampai lima jam, saya biasa mengambil perjalanan pada dini hari. Sekitar jam satu bus berangkat dari terminal Purabaya, jelang subuh baru sampai di terminal kota kelahiran.

Perjalanan yang begitu efisien dan cenderung lancar, pasalnya selain belum banyak lalu lalang kendaraan, sepanjang waktu di bus bisa dilewatkan dengan tidur. Bus berhenti dan mampir di setiap terminal tidak begitu lama, hanya menurunkan penumpang di setiap kota persinggahan.

Setelah sampai di terminal kota kelahiran istirahat dan menunaikan sholat subuh, dilanjutkan naik angkutan desa menuju rumah. Udara yang masih dingin menyentuh pori-pori, membuat perjalanan pulang selalu ngangenin.

Saat masih tinggal di Surabaya, saya bisa pulang kapanpun mau dan ada waktu. Selain ongkos bus yang tak terlalu mahal, badan juga tidak terlalu capek di perjalanan.  Bahkan bisa pergi dan pulang di hari yang sama, kalau sedang ada keperluan mendadak di kampung.

Meski pulang kampung bisa sewaktu waktu, mudik di hari lebaran tak pernah terlewatkan. Prosesi mudik di hari yang fitri, selalu menebar suasana yang terasa berbeda. Sepanjang  perjalanan terdengar alunan takbir, sontak perasaan tentram menyiram kalbu. Sayup  pujian pada Sang Pencipta menggetarkan kalbu, menyelinap di antara deru mesin bus antar kota.

Tak jarang bus berpapasan dengan truk konvoi takbir, lengkap dengan obor dan keriuhan pengeras suaranya. Betapa bahagia bisa tercipta dengan mudahnya, dengan melakukan kegiatan yang terkesan sederhana.

Ah serunya mudik, benar-benar tak bisa tergantikan dengan apapun juga. Meski perjalanan dari Surabaya tak terlalu jauh, bus yang ditumpangi biasanya selalu sarat penumpang. Bus jurusan kota di Jawa Tengah, menurunkan saya di kota pertengahan.

Untung saya cukup gesit dan masih sendiri, dengan cepat bisa mendapatkan kursi di dalam bus. Apalagi dengan naik bus di waktu malam, tidak terganggu dengan pedagang asongan menawarkan jualan.  

Perjalanan mudik -dokpri
Perjalanan mudik -dokpri
Semangat mudik tak pernah surut, meski  dari dulu ada yang selalu saya hindari yaitu mudik dengan kendaraan roda dua. Perjalanan dengan jarak tempuh yang relatif jauh, rasanya terlalu riskan apabila ditempuh menggunakan motor.

Jalur antar kota yang didesign untuk kendaraan besar, bagi saya sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri. Bayangkan saja, pengendara motor yang hanya berjaket musti menghadang terik dan angin secara langsung. 

Belum lagi kondisi lalu lintas yang cukup padat, tentu memicu lelah secara fisik dan lelah pikiran. Sangat  besar kemungkinan stress di jalanan, daya tahan tubuh bisa menurun.

Alangkah bijaksana, apabila memanfaatkan moda transportasi yang tersedia. Baik  berupa bus atau kereta, yang telah terbukti aman dan nyaman untuk dikendarai. Banyak perusahaan bus memiliki reputasi pelayanan bagus, menyediakan tempat istirahat dan memiliki pengemudi tidak ugal-ugalan.

Sebagai penumpang merasa aman dan nyaman, pikiran tidak was-was sepanjang perjalanan. Satu hal paling utama, badan tidak merasa capek sampai di kampung, sehingga silaturahmi berjalan lancar.

-0o0-

pemudik roda dua -dokpri
pemudik roda dua -dokpri
Kini setelah berkeluarga dan merantau di ibukota, mudik menjadi kegiatan yang musti dipersiapkan jauh hari. Mengingat biaya diperlukan tidak sedikit, saya dan istri menabung beberapa bulan sebelum lebaran tiba.

Karena kini punya dua keluarga besar, kami menyiasati pulang lebaran secara bergantian. Kalau tahun ini lebaran di rumah mertua, pada tahun berikutnya kumpul dengan keluarga di tanah kelahiran. Hal serupa diterapkan keluarga kakak, sehingga kami bisa janjian berkumpul setidaknya dua tahun sekali.

Melihat fenomena mudik dengan roda dua dewasa ini, saya tetap bertahan dengan pendirian semula.  Menyayangi kondisi badan, mengingat waktu tempuh bisa tiga kali lipat dibanding waktu di Surabaya.

Mudik dengan roda dua, dari Jakarta ke kota kecil di Jawa Timur tidak pernah terbayangkan. Apalagi bagi yang membawa anak dan istri, mudik dengan sepeda motor cenderung berbahaya.

Kasihan kan, anak yang masih balita tertidur di terpa angin jalanan secara langsung. Belum lagi orang tuanya yang keletihan, selain mengurus diri juga mengurusi buah hati.

Saya pernah berpapasan dengan pemudik roda dua, tampak kelelahan dan tertidur di mushola SPBU. Jaket yang dikenakan terlihat lusuh, badan capek menenteng barang barang bawaan. Si anak wajahnya tampak kecapekan, dalam hati ini berdoa si kecil tidak rewel. Kasihan banget kalau sudah capek ditambah repot, bisa-bisa urusan jadi tambah panjang.

Melihat  fenomena mudik dengan roda dua, sekaligus melihat sendiri kejadian di SPBU. Tekad  ini semakin membulat  daja, tidak bakalan mudik dengan roda dua. Keseruan mudik sejatinya terasa dengan kenyamanan, meski menggunakan transportasi darat bus atau kereta.

Apalagi pemerintah melalui Kemenhub sudah memberi fasilitas pada masyarakat, yaitu menyediakan bus gratis ke beberapa kota tujuan. Masyarakat musti memanfaatkan kesempatan dan fasilitas ini, mudik tanpa memikirkan biaya alias gratis. Dengan mudik secara nyaman dan aman, maka makna lebaran akan semakin meresap di sanubari.

-0o0-

Big Family di kampung -dokpri
Big Family di kampung -dokpri
Satu moment menghunjam, setiap lebaran berulang-ulang terjadi sampai saya menjadi suami sekaligus ayah. Adalah keharuan saat bersilaturahmi, memohon maaf pada ayah dan ibu mengingat kasih sayang tiada berpenghabisan.

Dada mendadak sesak mengiringi air mata tumpah, kalimat tertahan bersama sesenggukan. Apalagi setelah ayah berpulang, ibu adalah pusat dari segala perhatian anak-anaknya. Saya terus membisikkan doa disetiap waktu, semoga ibunda sehat selalu dan panjang usia –amin.

Mudik selalu menghadirkan kesan mendalam, sudah semestinya dilakukan dengan aman dan nyaman. Jangan biarkan suasana sakral, diawali dengan nekad menempuh jalan panjang dengan roda dua. –salam-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun