Dalam sebuah seminar bertema pariwisata, saya pernah mendengar sebuah kalimat dari seorang narsum. “Berwisata adalah cara ampuh untuk meningkatkan kualitas diri”, saya manggut-manggut mencoba mencerna kalimat ini.
Kata per kata saya coba resapi dalam- dalam, hingga menuju satu kesimpulan yaitu “Setuju”. Mungkin bukan saya sendiri, siapapun yang mendengar kalimat tersebut memeliki sikap yang sama.
Dalam melakukan perjalanan wisata, haqul yaqin akan diliputi sebuah perasaan gembira/bahagia. Sehingga apapun yang dikerjakan untuk aktivitas ini, mulai dari persiapan, keberangkatan hingga sampai tujuan niscaya dipenuhi gairah dan semangat.
Tak mengherankan, pasca berwisata output yang dicapai adalah meningkatnya produktifitas.
Bagi seorang karyawan yang bermalas-malasan, sontak menjadi lebih giat dan bersemangat bekerja. Yang biasanya buntu dengan ide-ide segar, mendadak sigap dan tangkas menemukan solusi atas masalah dihadapi.
-o0o-
Membaca buku berjudul “Saya Jatuh Cinta Pada Flores- Wisata Budaya & Petualangan” tulisan Asita Djojo Koesoemo, serasa diajak mengupgarde diri saya sendiri. Apa yang dituangkan penulis dalam lembar demi lembar buku, seperti hadir dan hidup di benak saya sebagai pembaca.
Membaca buku ini, seolah saya bisa menikmati keindahan alam Flores, baik dengan destinasi budaya atau destinasi petualangan. Saya bisa membayangkan lautan membentang, butiran pasirnya, gua gelap dan hutan yang masih perawan.
Selain itu bisa mengangan keindahan tenun sembari melihat biji kapas disulap menjadi benang, mencecap citarasa kuliner daerah Flores, keramahan penduduk yang tulus, serta rumah-rumah khas dan upacara adatnya.
Apa yang saya rasakan, senada dengan Joice Tauris Santi - traveller dan wartawan Kompas-dalam kata pengantar, “Menikmati Flores tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga keindahan tenunnya. Keragaman tenun Flores memiliki keragaman motif paling banyak di antara daerah penghasil tenun lain di Nusantara”.
Sementara Ira Latief – Penulis 15 buku dan creativepreneur, dalam kata pengantar menyampaikan “Mengeksplorasi Flores bukan saja tentang Komodo atau Danau Kelimutu, tetapi juga ada Ende, tempat historis dimana Soekarno pernah diasingkan”.
Coba bayangkan betapa antimainstream, melakukan liveaboard selama dua malam tiga hari. Bagi orang yang terbiasa hidup dengan kesibukan di perkotaan, pasti akan menemukan tantangan sekaligus keasyikan.
Hidup dari pagi sampai malam kemduian kembali ke pagi lagi, melewati detik ke detik dengan melakukan aktivitas di atas board—waah seruu. Merasakan dinginnya udara laut menelusup ke dalam pori-pori kulit, masak dan makan kemudian tidur dilakukan atas board.
Betapa indahnya menikmati langit gelap bertabur bintang, mendadak merekah mengiring semburat sinar cerah tanda lahirnya hari baru.
Saya berani jamin, anda pasti langsung bebas sebebasnya dari rutinitas keseharian yang cenderung monoton. Menemukan dimensi lain kehidupan tak terduga, niscaya akan menjadi pribadi yang lebih segar dan lebih baru.
Bagi saya yang belum bersentuhan dengan udara Flores, membaca buku ini seperti diajak menikmati petualangan seru ini.
Pada bagian lain, saya merasakan bagaimana licinnya nenyusuri jalan setapak dalam gua yang gelap. Ruangan sempit dengan sirkulasi udara terbatas, pasti kaki ini seolah punya mata untuk meraba mana jalan aman dan tidak aman. Lorong lorong sempit dilibas, dengan lubang bahkan lebih pendek dari tinggi badan.
Ujung perjalanan yang melelahkan itu, adalah sebuah lubang gua yang menjadi tempat masuk cahaya matahari.
Anda pernah melihat melihat sawah berbentuk jaring laba-laba, atau lebih dikenal dengan lingko spider web rice field.
Sawah dengan bentuk ini tentu tidak terlalu umum, bentuk sarang laba-laba terlihat saay padi tumbuh dengan warna hijau kekuningan. Sawah sawah yang ada di Manggarai, selain sebagai tempat menanam padi juga sebagai penunjang kehidupan.
Sawah yang diatur oleh adat ini sarat makna dan filosofi, menerapkan sistem pembagian atau disebut dengan lingko. Lingko adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal, untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama masyarakat.
Selain itu sawah yang unik, ana bisa menelusuri kota Maumere dengan perkampungan dan benteng di Pantai yang indah. Pantai dengan bentuk cekungan, sekaligus hamparan gugusan yang membentang. Kemudian pelabuhan Sadang bui, menjadi pelabuhan laut yang disinggahi kapal dari Pulau Jawa dan Pulau besar lainnya.
Mengunjungi Danau Kelimutu di Ende Flores, menikmati matahari warna jingga dari balik gunung Kalimutu. Sungguh pemandangan yang sempurna, saat sinar menerpa salah satu danau atau kawah Kelimutu dengan warnanya yang hijau muda.
Permukaan kawah yang berkilau, seolah memantulkan bias cahaya bianglala. Matahari perlahan naik menerpa wajah, menghangatkan badan para penikmatnya.
Keindahan demi keindahan akan turut anda rasakan, dijabarkan bagian per bagian dengan sangat detil dan komplit.
Asita DK memberi rincian alternatif alat transportasi, bisa digunakan untuk mencapai daerah tujuan. Mulai dari moda udara, laut atau transportasi darat, bahkan lengkap dengan harganya sekalian.
Agar tidak terlalu berat diongkos, penulis menyarankan menggabungkan semua sarana transportasi. Kemudian bisa pergi secara group/ berkelompok, sehingga bisa patungan untuk menyewa kendaraan darat.
Rute perjalanan bisa menyesuaiakan, sehingga perjalanan bisa terstruktur dengan rapi. Dalam buku ini juga ada tempat yang disarankan, membawa bekal mengingat lokasi yang jarang ada penjual makanan atau minuman.
Pokoknya komplit-plit
-o0o-
Sedikit yang bisa saya jadikan catatan, gambar yang untuk mendukung tulisan kurang “berbicara.” Mungkin karena dicetak dengan hitam putih, sehingga kurang begitu “eye cathcing”.
Pada beberapa kata ada yang kelupaan tanda spasi, pun awalan di (tidak menunjukkan tempat) seharusnya digabung masih kelewatan pada beberapa bagian.
Selebihnya buku ini sangat recommended, utamanya bagi penjelajah pemula Pula Flores seperti saya. Atau bagi petualang yang belum tuntas, mengeksplor Pulau Flores secara lebih mendalam.
Penulis ; Asita Djojo Koesoemo
Editor ; Eddy Suryanto
Tebal ; xxi + 177 halaman
Penerbit ; Percetakan Pohon Cahaya, Yogyakarta
Cetakan 1 ; April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H