Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wajah Perempuan di Layar Film Indonesia

18 April 2017   10:50 Diperbarui: 19 April 2017   05:54 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber; Chistine H (poskotadotcom) Widyawati (metrodotcom) Suzana (Merdekadotcom), Nani W (Fajardotcom)

Paras cantik menawan didukung postur tubuh ideal, tak dipungkiri menjadi magnet sebuah film. Tak mengherankan nyaris semua film Indonesia, memasang wajah molek sebagai bintang utama.

Wajah cantik selain elok dan nyaman dipandang, sekaligus menjadi strategi bisnis bagi pemilik modal. Lagi-lagi demi cepat kembali biaya produksi, didapat melalui penjualan tiket nonton bioskop. Setelah uang ada ditangan, kembali membuat film entah dengan balutan idealis atau semata mata bisnis.

Bagi yang berorientasi uang, dijamin membuang jauh jauh namanya idealis. Prinsip dagang benar benar diterapkan, dengan modal sekecilnya untuk meraup laba sebesarnya.

Saya atau anda mungkin masih ingat, saat perfilman Indonesia sedang mati suri. Periode ini terjadi pada awal 90-an, produksi film Indonesia mengalami penurunan baik secara kuantitas apalagi kualitas.

Saat itu muncul film “asal jadi”, dengan judul yang sangat vulgar.  Judul yang dipilih (bisa dibilang) sangat jorok, seperti “Nafsu Birahi”, “Gairah nakal”, “Permainan Panas” dan lain sebagainya. Pun poster besar terpajang di gedung bisokop, dengan gambar yang sangat kurang pantas.

Sungguh posisi perempuan menjadi object, sebagai penarik masa berduyun duyun ke bioskop. Beberapa nama mendadak tenar, setelah berpose sensual dengan tubuh diobral. Namun nama pemain panas kini meredup, seiring selesainya masa film- film panas yang berlalu.

Posisi Perempuan dalam Film Indonesia

Sebagai penikmat film, secara otomatis penonton (seolah) bisa memilah setiap nama pemainnya. Mungkin benak ini langsung tergiring, ketika mendengar atau membaca pemeran yang tertulis di poster.

Sebut saja nama Christine Hakim, sebagian besar kita mungkin berpikiran sama. Nama Christne Hakim, identik dengan film berkualitas dan akting yang luar biasa.

Pernah saya membaca sebuah berita, Christine Hakim tak sembarang ambil peran. Bahkan saat mendalami karakter yang dilakokan, butuh waktu beberapa bulan untuk beradaptasi. Kalau mau mencermati, Christine selalu total dan cemerlang berperan dalam setiap film.

Dalam sebuah wawancara televisi, Christine berkisah pengalaman memerankan tokoh Tjoet Nya’ Dien. Sampai hampir dua tahun, beliau seperti masih menempel dengan karakter pahlawan asal Aceh ini. Masih kerap menangis, kalau mengingat perjuangan Tjoet Nya’ Dien.

Tak berlebihan jika pada Festival Film Indonesia 2016, dinobatkan sebagai peraih “Lifetime Achievement”. Pengabdiannya di dunia film Indonesia tak terbantahkan, namanya bergaung bahkan sampai kancah Internasional.

Christine Hakim dalam film Pendekar Tongkat Emas - poskota(dot)com
Christine Hakim dalam film Pendekar Tongkat Emas - poskota(dot)com
Apa yang terbayang ketika mendengar nama Suzanna?

Anda pasti ingat dengan reputasinya di dunia film, nama Suzana tak bisa dilepaskan dengan film bergenre Horor. Setiap memerankan karakter hantu, aura mistis seolah sampai di benak penonton.

Saya dulu waktu masih kecil, kalau mendengar film dibintangi Suzana maunya nonton rame rame. Tidak lupa membawa sarung, kalau ada adegan menakutkan langsung sarung menutupi muka. Rasa takut biasanya bertahan beberapa hari, wajah suzana terbayang apalagi saat hari mulai gelap.

Konon dalam keseharian, Suzana menjalankan ritual makan bunga melati. Pernah dalam sebuah tayangan televisi, kediaman Suzana tertutup sangat rapat dari tetangga kanan kirinya. Sampai akhir hayatnya, seperti menyimpan teka teki di tengah masyarakat.

Bagaimana kalau Widyawati atau Nani Widjaya?

Identik dengan peran keibuan serta bijaksana, sangat jarang mereka mendapat peran antagonis.

Mungkin Nani Widjaya pernah berperan sebagai “mak”, di serial komedi televisi Bajaj Bajuri. Perannya yang menyebalkan, sebagai bukti kualitas dan totalisnya berakting. Namun setelah serial itu selesai, Nani Widjaya kembali pada track nya sebagai tokoh bijak dan penyayang.

Sementara untuk nama Widyawati, sejak awal kemunculan di era 70-an selalu konsisten dengan peran protagonis. Wajahnya yang lembut dan anggun, tak cocok berperan jahat atau antagoni.

Widyawati - metro(dot)com
Widyawati - metro(dot)com
Ada juga lho, nama bintang selalu identik dengan peran panasnya. Mereka langganan memerankan film panas, sehingga namanya lekat dengan peran-perannya. Sejauh yang saya dapati, bintang film panas biasanya berubah setelah bertambah usia.

Menjadi bintang film genre apapun, adalah pilihan hidup yang dijalani para bintang tersebut. Wajah dan nama mereka menghiasi dunia perfilman Indonesia, tentu dengan konsekwensi yang ditanggung.

Dunia peran tak ubahnya bidang pekerjaan lainnya, setiap orang akan mendapati apa yang dikerjakan. Siapapun yang bekerja dengan totalitas, niscaya hasil yang diraih juga optimal. –salam-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun