Beberapa teman yang saya kenal, menginginkan punya berat badan dan postur yang ideal. Pun yang sudah terlanjur kegemukan, acapkali dari bibir terucap keinginan memangkas lemak ditubuh.
Saya pribadi juga merasakan sendiri, bagaimana berat menjalankan komitmen. Keinginan dari dalam hati, kerap tidak dibarengi dengan upaya nyata. Kontrol terhadap asupan makanan tidak dilakukan, pola hidup sehat belum juga diterapkan.
Masih saja menganut prinsip, mumpung lagi sehat semua makanan disikat. Padahal kalau mau berpikir lebih jauh, bukankah makanan menjadi sala satu pintu datangnya penyakit. Asam urat, diabetes, koleterol, hypertensi, datang dari pola makan yang kurang tepat. Kurangnya diri membuka wawasan, muasal pengabaian konsumsi makanan pantangan.
Makanan jenis apa saja disantap, tidak peduli cadangan lemak sudah menimbun. Olahan dengan minyak berlebih, seperti gorengan tak lagi ditakar dan diperhatikan. Mulai pisang goreng, bakwan, tahu goreng, kue cucur, martabak goreng, nasi goreng dan lain sebagainya terus saja dimasukkan tubuh. Meskipun minyak menempel di makanan, tak lagi peduli yang penting enak di lidah.
Malas bangun lebih pagi, mengusir dingin dengan menggerakkan badan. Lebih banyak berkegiatan dengan duduk, sehingga relatif minim beraktivitas fisik. Padahal kita semua paham dan sadar, gaya hidup kurang sehat sedang dijalankan.
Coba anda bayangkan, kalau hal ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu panjang. Bisa saja pada hari tua, rentan mengidap aneka penyakit yang menurunkan fungsi organ tubuh.
Kalau saja kita mau menyayangi diri sendiri, bisa memulai dengan mengerem asupan. Apa yang masuk ke dalam tubuh, usahakan asupan yang bermanfaat dan dibutuhkan.
Beberapa macam lapar.
Pada satu kelas tentang relaksasi, saya pernah mendapat pencerahan tentang muasal rasa lapar. Karena pengelolaan laparlah, sesungguhnya memiliki andil dalam mengurangi kelebihan lemak. Jangan mengikuti kemauan konsumsi makanan, kalau perintahnya tidak dari asal yang sejatinya.
Lapar Mata
Pernah gak kompasianer alami, saat acara Car Free Day, pasar malam, ngabuburit jelang buka puasa, kondangan atau acara kulineran apapun. Kemudian melihat aneka makanan dijajakan, dengan komposisi warna warni yang menggoda.
Soup buah dengan warna syrup merah, berpadu kuning kehijauan potongan alpukat. Terdapat warna putih dari daging kelapa muda, bulat bulat merah kekuningan dari buah pepaya. Masih juga dicampur potongan buah naga, buah lychee, dan lain-lainnya.
Niat semula cuma lewat doang, gara gara bola mata terkesima warna warni soup buah langsung pengin beli. Semantara di rumah sudah ada makanan lain, belum juga dimakan habis.
Nah ini yang disebut lapar mata, atau rasa lapar yang diakibatkan dari indera mata/ penglihatan. Sebenarnya kalaupun bersikeras tidak membeli, tidak masalah karena perut belum minta jatah diisi.
Lapar Hidung
Seperti namanya, lapar hidung muncul bermula dari indera penciuman. Seperti saat melintas di arena food court, langsung “Seeeng” mengendus aroma harum makanan tertentu. Entah aroma bumbu dari nasi goreng, bihun goreng, martabak telur, atau aroma makanan lainnya.
Langkah yang terburu-buru sontak berhenti, kemudian berbelok mencari sumber bau menggoda. Lambung yang sudah diisi makananpun, ‘dipaksa’ menampung kembali asupan baru.
Padahal kalaupun tidak lapar hidung, tidak makan juga tidak masalah lho. Karena memang perut tidak sedang lapar, lambung juga sudah diisi dengan makanan lain sebelumnya.
Lapar Lidah
Kalau sedang ada acara kuliner, sering dong ditawarin tester makanan tertentu. Siapa sih yang tega menolak, sampling makanan unik gratis lagi. Maka tangan ini mencomot, sepotong dua potong makanan tester tersebut.
Karena lidah merasakan taste enak, alhasil membeli satu dua porsi untuk dikonsumsi. Kalau memang belum makan/ lapar sih ga masalah, asal tidak dilanjutkan sesi makan berkutnya.
Perut. Tapi kalau sudah makan kemudian makan lagi, hal ini sudah masuk kategori lapar lidah.
Lapar Perut
Anda kalau sedang lapar berat, biasanya mendengar suara ‘kriuk-kriuk’ di perut. Nah signal inilah, rasa lapar yang sejati dan harus dituruti. Rasa lapar yang berasal dari perut, penanda saatnya perut minta diisi. Kalau dibiarkan justru tidak bagus, malah terjadi hal yang mustahal #eh –hehehe.
Bagi Kompasianer yang sedang diet, sebaiknya hanya berpatokan pada lapar perut. Abaikan rasa lapar lainnya, sebagai muasal atau pemicu gagal mengusir lemak. Pola makan yang diterapkan, sebaiknya makan sedikit atau secukupnya saja tapi sering.
Maksudnya begini, kalau perut sedang lapar makan secukupnya sampai bunyi ‘kriuk’ itu hilang. Nah selang satu jam kalau bunyi kriuk lagi, boleh makan lagi tapi dengan porsi yang kecil saja.
-Pada point makan sedikit, dan berhenti setelah signal lapar hilang, benak ini teringat dengan Rasulullah SAW. Manusia sempurna ini menerapkan, makan setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang—subhanallah. Sebuah riwayat menjelaskan, perawakan Nabi Muhammad SAW begitu ideal. Antara tinggi dan berat seimbang, kemudian diimbangi dengan aktivitas fisik yang memadai.-
Kalau saya pribadi pernah praktek, dengan menyediakan buah jambu. Kenapa jambu, selain kaya serat bisa menunda rasa lapar (ganjel perut). Saya sengaja mengganti makanan, dengan memperbanyak konsumsi (baca ngemil) buah. Kandungan buah menguntungkan tubuh, semua zat berasal dari alam.
Saat ini buah sangat mudah dibeli, penjual buah ada di pinggir jalan, pasar tradisonal dan modern, sampai minimarket khusus buah. Sebagai konsumen musti pintar, membeli buah lokal dan terdapat tanda buah masak dengan baik.
Sekarang saatnya menguatkan motivasi, hanya makan saat signal perut lapar bersuara. Abaikan signal lapar dari sumber lainnya, sehingga tidak merusak program penurunan berat badan yang sedang dijalankan. –salam sehat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H