Waktu masih berseragam merah putih, saya sempat menonton film kartini. Kala itu menjadi film tontonan wajib, bahkan diputar melalui layar tancap di lapangan desa –jangan hitung umur saya yak hehe. Memasang bintang Jenny Rachman, didukung oleh Dedy Sutomo, Nany Widjaya, Adie Kurdi, Chintami Atmanegara dan nama terkenal lainnya.
Film Kartini produksi tahun 1984 disutradari Sjumandjaja, berkisah kehidupan Kartini dari lahir hingga meninggal. Kartini digambarkan sebagai sosok yang kuat dalam pemikiran, namun tunduk pada adat Jawa yang berlaku turun menurun.
Kemudian pada tahun 2016, diproduksi film berjudul “Surat Cinta untuk Kartini” (SCUK). Menawarkan citarasa baru dari film Kartini terdahulu, mengambil angle dari kisah tukang post. Menampilkan pendatang baru Rania Putri Sari sebagai bintang utama, berpasangan dengan Chicco Jerikho sebagai Sarwadi si tukang post.
SCUK mengangkat cerita dari sisi berbeda, yaitu upaya Sarwadi yang sedang menaruh hati pada Kartini. Rekaan cerita seputar kisah Kartini tidak ada yang salah, tinggal bagimana mengemas agar tetap masuk logika. Pada film Kartini produksi 2016, tidak focus pada perjuangan Kartini saja. Tapi lebih pada semangat Sarwadi sebagai rakyat biasa, hendak menyampaikan perasaannya pada putri Bupati.
Komunitas Pecinta film Kompasiana (KOMIK), berkesempatan hadir memenuhi undangan dari IFI dan Plaza Indonesia. Sungguh semua serba mendadak, sehingga semua persiapan dilakukan admin KOMIK secara super cepat. Memilih sepuluh nama undangan, segera disetorkan pada pihak pengundang.
Secara pikiran pintas dan cepat, admin memilih nama yang rajin nulis di Kompasiana. Selain meyakini bisa datang tepat waktu, paling penting tidak punya utang review. Hal ini menjadi pertimbangan, agar admin tidak ‘malu’ pada pihak pengundang pastinya.
Seperti saat Kartini membaca sebuah novel, digambarkan si pembaca buku melihat perjalanan sidang seperti kisah novel yang dibaca. Kartini menengok jendela kaca, terdapat ruang pengadilan di masa Belanda. Penulis novel bersanding disebelahnya, menjelaskan apa yang sedang dilihat.
Hal yang sama terulang, saat Kartini berkorespondensi dengan seorang perempuan dari Belanda. Ketika selembar kartu diterima, tiba-tiba Kartini berada di negeri kincir angin. Bersua dengan sahabat pena, berbincang seperti tulisan dalam suratnya.
Perjuangan kartini membebaskan pikiran dari kebiasaan belenggu adat, dijelaskan dalam setiap adegan dengan apik di film Kartini. Seperti tidak mengharuskan adik-adiknya, memanggil dirinya dengan sebutan “mbak”. Pun saat menolak dua adik, menyembah dirinya yang notabene lebih tua.