Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Remehkan Janji pada Anak

16 Maret 2017   06:58 Diperbarui: 16 Maret 2017   20:04 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagus apapun nasehat tersampaikan, tiada arti ketika penyampainya berkhianat. Lunturlah wibawa si penasehat, ketika ucapannya dilanggar sendiri. Seindah apapun bahasa terangkai, hilang makna ketika si pengucap mengingkari yang diucapkan.

Abdullah bin Amir berkata, Ibu memanggil saya, sementara Rasulullah berada di rumah kami.

“Anakku kemarilah! Saya akan memberi sesuatu kepadamu.”

Rasul bertanya,” Apakah yang hendak engkau berikan kepadanya?”

“Kurma”

Beliau pun bersabda, “Jika engkau tidak memberi sesuatu, maka telah ditulis satu dusta bagimu.”

Menilik kisah yang sederhana itu, jelas sekali penilaian Rasulullah. Sikap tidak memenuhi janji pada anak termasuk dusta, jangan menganggap remeh janji kepada buah hati.

Janji itu sesuatu yang serius, sebegitu seriusnya hingga dampak bagi pengingkar janji jauh lebih serius. Hilang wibawa para pendusta, lenyap kepercayaan pada orang yang tak bisa dipegang  janji.

-o0o-

Menjelang tidur, kala itu sulung saya baru empat tahun. Kebiasaan kami cuci kaki dan gosok gigi, saya ayahnya mendampingi di kamar mandi.

Malam itu ada yang berubah, lelaki kecil sedang meluapkan emosi. Sudut alis saling mendekat, ujung hidung terangkat hendak menyentuh ujung alis. Bibir tipis bergetar, rangkaian kalimat seolah siap diberondongkan. Kata kata itu masih saja ditahan, menunggu waktu tepat memuntahkan.

Sikat dan pasta gigi diraih, tutup pasta dibuka sekenanya dipencet tanpa perhitungan. Alhasil odol tertuang luber, berceceran ke permukaan ubin kamar mandi.

Saya diam tak bereaksi, mengaku berada pada posisi yang salah. Melakukan pembelaan diri, justru menimbulkan masalah baru. Tanpa penjelasan detil, sebenarnya musabab kemarahan sudah diketahui. Si ayah “terpaksa” tidak menepati janji, gagal membawa pulang kebab untuk sebuah alasan.

Mulanya ayah dan anak membuat perjanjian, dengan catatan si anak hapal huruf hijaiyah. Kebab kesukaan menjadi jaminan, setelah huruf kunci kalam Illahi diucapkan dengan lancar. DEAL, dua tangan bersalaman tanda saling setuju.

Siapa sangka, perjanjian kecil ini memacu semangat. Dengan penuh ketekunan, huruf alif sampai Ya’ diucapkan diluar kepala dalam waktu tiga hari. Maka tak ada alasan bagi saya, menepati janji yang telah diikrarkan.

Membawa pulang makanan khas Turki, di dalamnya terdapat sedikit irisan tipis daging sapi panggang. Taburan keju diatas daun kol, ditimpa mayonais beradu saos sambal dan saus tomat. Campuran bahan menggugah selera, digulung  tortilla kemudian dimasukkan dalam kertas minyak.

Pada hari yang ditentukan, saya ada acara mendadak dari kantor. Sebenarnya tak ada keharusan hadir, mengingat acara dimaksud refreshing atau sekedar nonton bioskop bareng. Terlihat beberapa rekan kerja pamit, nyatanya diberi ijin oleh pimpinan.

Saya bersikeras ikut acara nobar, hingga sekitar jam 20.00 baru bisa keluar dari bioskop. Belantara kemacetan ibukota, membuat perjalanan roda dua tersendat sendat. Mendekati pukul sembilan malam, bermaksud mampir tukang kebab namun sudah terlambat.

“sudah habis Pak. Besok saja kesini lagi”Ujar penjual kebab

Sesampai di rumah amarah bocah kecil muncul, alasan yang belum sempat dirangkai tak berlaku lagi. Kemarahan yang tak mampu dibendung, akibat keteledoran yang dibuat oleh si ayah. Janji tetaplah hutang, sekalipun disampaikan kepada anak sendiri.

-0o0-

anak-dokpri
anak-dokpri
Ari Ginanjar Agustian dalam buku ESQ, pernah menuliskan pada halaman 91- 92 “pada saat berjanji kita menarik energy suara hati orang lain secara besar besaran yaitu sebuah harapan. Kalau tidak dikembalikan keseimbangan orang lain akan terganggu.”

Banjanji sesungguhnya bertaruh reputasi, tak menepati janji akan melunturkan kepercayaan. Butuh waktu tidak sebentar, untuk mengembalikan kepercayaan atas “pengingkaran” yang terjadi.

Peristiwa malam yang menyentak, bagai sebuah tamparan bertubi. Menyadarkan saya, tentang kesalahan yang semula dianggap sepele dan remeh. Anak kecil yang diberi janji, tetap memiliki hak untuk ditepati.

Peran keayahan musti dikerjakan secara total, ayah mau terlibat dengan sepenuhnya. Ayah memanfaatkan waktu secara disiplin, seimbang antara tugas mencari nafkah dan anak istri di rumah. Janganlah memberi waktu tersisa, untuk curahan perhatian pada bekahan jiwa dan buah hati.

Pun hati hati dalam hal berjanji, jangan pernah meremehkan janji. Sekali melakukan pengingkaran, membutuhkan usaha panjang menebusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun