Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sepenuh Cinta dari Ibunda

21 Februari 2017   03:49 Diperbarui: 21 Februari 2017   03:56 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepotong kisah sederhana, terjadi di tempat sederhana pula. Pada sebuah makam kampung, di tengah areal pesawahan yang menghijau. Tempat jenasah almarhum ayahanda, satu dasawarsa lewat disemayamkan.

Siang yang hening dan syahdu, suara angin ditimpa nyanyian burung bersahutan. Ibu perempuan usia tujuhpuluh tahun, bersimpuh tanpa alas di tanah pemakaman. Berada persis di samping kanan, sebuah nisan belumut tertulis nama suami.

Mula mula terdengar bacaan al fatihah, sesaat setelah duduknya terasa jenak. Dua telapak tangan ditengadah, dengan kelopak mata terkatup mengambang. Hanya kalimat “Bismillahirahmannirahim” saya dengar, selebihnya suara tipis tak jelas.

Semilir angin membelai daun, seolah tak diijinkan untuk sekedar menguping. Suara dalam diam tenggelam berbalut sepi, hanya ibu dan Sang Pencipta yang mengetahui. Gerakkan bibir terbaca perlahan, seolah meresapi setiap kata diucapkan.

Doa semakin mendalam, menyatu sunyi menyusuri setiap partikel dan udara. Perlahan tapi pasti, butiran air bening keluar dari sudut mata. Bibir itu bergetar, beriring linangan dua bola mata terpejam. Dalam satu tarikan nafas, permohonan mengalir tenang dan lancar.

Apalagi namanya, kalau bukan cinta sejati. Kala mengenang yang dicinta, nama itu bersemayam di sanubari. Bisa jadi ini dinamakan cinta segenap hati, hingga rindu membuncah saat melangitkan doa.

-0o0-

Saya bungsu telah dewasa, mencerna kejadian dengan segenap kesadaran. Meski tak sepatah doa terdengar, cukuplah hati ini mampu meyakini.

Langit membiaskan warna biru, mengantarkan pada pemahaman baru. Memang tak semua tanya butuh jawab, apa yang terlihat lebih dari sekedar jawaban. Siang berbalut sunyi, mengantar ingatan pada masa terlalui.

Ayah dan ibu menikah jelang tahun 60-an, tanpa melalui proses pacaran. Ibu lulusan Sekolah Dasar, sang suami adalah guru yang mengajari. Liku terjal kehidupan dijalani, nyaris separuh abad berdua biduk rumah tangga dikayuh. Suami istri terpisah oleh maut, setelah berbaur sedih dan bahagia kehidupan.

Enam anak laki laki lahir, meramaikan panggung rumah tangga sederhana. Citarasa masalah lengkap tersaji, onak duri dan badai dihadapi bersama.

Periode 80-an, masa peras keringat dalam arti sesungguhnya. Semua anak di bangku sekolah, menuntut biaya yang tidak sedikit. Episode ini menjadi masa pembuktian, bahu membahu pasangan suami istri.

Semasa bersekolah, saya dan kakak tak mengenal uang jajan. Sarapan sebelum berangkat sekolah, makan siang sesampai di rumah. Begitu rutinitas berlangsung bertahun tahun, sampai saya lepas sekolah menengah atas.

Saya bungsu saksi hidup, betapa pontang panting orang tua mencukupi kebutuhan. Demi penghematan, ayah berjalan kaki pergi dan pulang mengajar. Meski jarak jauh ditempuh, menuju sekolah dasar di desa seberang.

Ibu membuka lapak di pasar kampung, demi membantu keuangan keluarga. Tak jarang berhutang sana sini, untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Ibu juga memutar otak, bagaimana mencukupkan keuangan rumah tangga.

Teramat banyak kisah dilalui, baik peristiwa datar atau kejadian penuh gejolak. Semua kini telah terangkum, menjadi catatan sejarah perjalanan kehidupan. Sebelum tiba saat ayahanda berpulang, enam anak lelaki sudah berkeluarga.

Ayah dan Ibu -dokpri
Ayah dan Ibu -dokpri
-0o0-

Waktu bergulir masa berganti, si bungsu dengan istri dan dua buah hati. Perjalanan dua orangtua, adalah kisah nyata penuh makna. Bercermin pada ayah dan ibu, memacu semangat suami istri menghargai.

Saat saya melihat anak-anak, seperti melihat diri sendiri semasa kecil. Apa yang mereka lihat dan alami saat ini, akan menjadi simpanan memori saat mereka dewasa.

Kami suami istri, masih jauh menempuh perjalanan berkelok. Meyakini setiap detik peristiwa, sebagai peluang memberi persembahan terbaik. Agar kesejatian cinta bertumbuh, bertunas dan berkembang dalam hati anak anak kami.

Kehidupan berumah tangga, ibarat kapal berada di tengah samudra. Siap merasakan pasang surut, menghadapi debur ombak dan gelombang. Belajar kisah ayah dan ibunda, kami meyakini, seberat apapun masalah akhirnya bisa dilalui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun