Periode 80-an, masa peras keringat dalam arti sesungguhnya. Semua anak di bangku sekolah, menuntut biaya yang tidak sedikit. Episode ini menjadi masa pembuktian, bahu membahu pasangan suami istri.
Semasa bersekolah, saya dan kakak tak mengenal uang jajan. Sarapan sebelum berangkat sekolah, makan siang sesampai di rumah. Begitu rutinitas berlangsung bertahun tahun, sampai saya lepas sekolah menengah atas.
Saya bungsu saksi hidup, betapa pontang panting orang tua mencukupi kebutuhan. Demi penghematan, ayah berjalan kaki pergi dan pulang mengajar. Meski jarak jauh ditempuh, menuju sekolah dasar di desa seberang.
Ibu membuka lapak di pasar kampung, demi membantu keuangan keluarga. Tak jarang berhutang sana sini, untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Ibu juga memutar otak, bagaimana mencukupkan keuangan rumah tangga.
Teramat banyak kisah dilalui, baik peristiwa datar atau kejadian penuh gejolak. Semua kini telah terangkum, menjadi catatan sejarah perjalanan kehidupan. Sebelum tiba saat ayahanda berpulang, enam anak lelaki sudah berkeluarga.
Waktu bergulir masa berganti, si bungsu dengan istri dan dua buah hati. Perjalanan dua orangtua, adalah kisah nyata penuh makna. Bercermin pada ayah dan ibu, memacu semangat suami istri menghargai.
Saat saya melihat anak-anak, seperti melihat diri sendiri semasa kecil. Apa yang mereka lihat dan alami saat ini, akan menjadi simpanan memori saat mereka dewasa.
Kami suami istri, masih jauh menempuh perjalanan berkelok. Meyakini setiap detik peristiwa, sebagai peluang memberi persembahan terbaik. Agar kesejatian cinta bertumbuh, bertunas dan berkembang dalam hati anak anak kami.
Kehidupan berumah tangga, ibarat kapal berada di tengah samudra. Siap merasakan pasang surut, menghadapi debur ombak dan gelombang. Belajar kisah ayah dan ibunda, kami meyakini, seberat apapun masalah akhirnya bisa dilalui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H