Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengaruh Pola Asuh Terhadap Anak

27 Januari 2017   19:07 Diperbarui: 27 Januari 2017   19:18 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar retakankata(dot)net

Tak bisa dipungkiri, sebagai orang tua kita juga membawa karakter sendiri-sendiri. karakter yang terbentuk dari masa kecil, tentu ada campur tangan ayah dan ibu kita masing-masing.

Semasa kecil tinggal di kampung, sebagai orang jawa pernah dibuat repot soal tata bahasa. Kepada orang tua harus berbahasa kromo inggil, atau bahasa halus yang merepresentasikan penghormatan anak pada orang tua.

Kepada kakak atau yang lebih tua, disarankan menggunakan bahasa kromo. Memang tak sepehunya bahasa halus, namun tetap harus memperhatikan rambu. Seperti "kowe" bahasa kasar kamu, bisa diganti "sampeyan" ada kakak. Baru pada teman sebaya, saya bisa sesukanya berbahasa "ngoko" atau kasar.

Sebagai anak seorang guru, tata krama menjadi perhatian tersendiri. Terutama ibu begitu concern, termasuk bagaimana anak-anak bersikap pada orang tua. Tak jarang ibu meluruskan, ketika saya tak paham memilih kata tertentu dalam bahasa halus.

Namun apa yang terjadi di rumah, kadang bertolak belakang dengan di lapangan. Beberapa teman kebetulan memiliki ayah atau ibu petani, mereka ada yang dibebaskan dalam soal berbahasa.

Artinya saat anak bercakap dengan orang tua, diperboleh berbahasa kromo bahkan ngoko. Apalagi dengan orang berumur lebih tua semisal kakak, teman ini bisa berbahasa super kasar sekalipun. Sebagai anak kecil, saya pengin coba-coba praktek di rumah.

Satu sore dari ruang dapur, terdengar ibu memanggil nama saya. "opo buk", begitu saya menjawab.

Entah kurang jelas atau tidak mendengar jawaban saya, kedua kalinya ibu memanggil nama saya. "opo tho buk" ujar saya santai.

Dalam hati sebenarnya saya paham, ibu ingin mendengar saya menjawab kata "dalem" (bahasa halus untuk "opo"). Namun kerena pengin seperti teman lain, maka tetep keukeuh memakai kata "opo".

Sesuatu terjadi di luar perkiraan, ibu mendatangi dan marah-marah. Gara-gara satu kata "opo", malam itu saya makan hanya dengan nasi putih.

"sama orang tua gak ngajeni (hormat)" omel ibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun