Ayah dan anak, berdiri di trotoar menunggu angkutan umum. Siang terik di hari minggu, ayah usai menunaikan janji pada bungsunya. Mengajak pergi ke kolam renang di kota, setelah kenaikan raport diterima dengan nilai memuaskan.
"Ayah,...emm aku haus" rengeknya ragu
"ditahan dulu, biar sampai rumah"
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada tukang es cendol sedang mangkal. Warna dawet yang hijau muda, di atasnya ada lumeran warna cokelat  dari gula kelapa cair, ditimpa putih kental santan kelapa, semakin sempurna dengan bongkahan es batu bertumpuk menyentuh bibir gelas.
Anak kecil mana tidak ngeces dan tidak menelan ludah, melihat tampilan es dawet begitu menggugah selera. Namun keberanian mendadak lenyap, setelah penolakan ayahnya. Untuk segelas minuman segar impian, tidak setiap waktu bisa diteguknya. Maklum saja, di kampungnya tak ada penjual es lezat seperti dilihat sekarang.
Lelaki  kecil berusaha menahan keinginan, menikmati segelas es dawet. Sesekali dari sudut mata melirik, penjual sibuk melayani pembeli. Setiap memadupadankan bahan es dalam gelas, lubang tenggorokan rasanya semakin kering saja.
Hampir setengah jam menunggu, beberapa angkutan lewat tapi beda jurusan. Ayah dan anak belum juga beranjak, dari trotoar tempat berdiri tak jauh dari kolam renang. Semakin lama bertahan di tempat yang sama, semakin menyiksa batin lelaki kecil,
Saling membisu, hanya suara bising kendaraan menguasai. Tak ada sepatahpun percakapan mencairkan suasana, karena memang tak biasa ayah dan anak bercakap cakap.
"Kamu pengin es dawet"si ayah paham kemauan si anak
Dalam diamnya, ternyata ayah berpikir keras. Bisa jadi berhitung, apakah uang di dompet cukup. Selain sudah dialokasikan untuk membeli ticket kolam renang, dipastikan ada uang membayar angkutan untuk pulang.
"emmmm..." kepala kecil itu ragu namun tetap menggangguk
"ayo"
Langkah ayah menuju tukang dawet, diikuti langkah kecil lelaki kecil. Hatinya semakin dag dig dug, ketika duduk di bangku kosong depan penjual es incaran.
-00o00-
Saya kini seorang ayah, dengan sejuta kenangan bersama ayah. Sungguh saya sadari, ayah dengan keadaan ekonominya. Membuat masa kecil, tak bisa leluasa mendapati apa yang diminta.
Menghidupi enam anak, adalah perjuangan yang tidak ringan bagi ayah yang seorang guru sekolah dasar. Semangat ayahanda tak pernah patah, mengirim anak-anak hingga sekolah tinggi.
Dengan segala keterbatasan,saya tumbuh menjadi anak yang tidak meledak-ledak. Tidak frontal mengekspresikan perasaan, tidak mudah menghujat atau mengumpat ketika sedang tidak setuju.
Pelajaran hidup dari ayah, menjadi teladan sekaligus koreksi, dalam menjalankan peran keayahan. Bagaimanapun ayah adalah manusia biasa, memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.
Meneladani sikap ayah, atas tanggung jawab yang besar pada keluarga. Banyak megalah demi anak dan istri, merelakan diri meniadakan ego pribadi. Bahkan kalau sedang di meja makan, memastikan seluruh anggota keluarga makan, ayah makan paling akhir. Ayah dengan sifat pendiamnya, tidak mudah tersinggung atau marah kecuali benar-benar keterlaluan.
Ada sikap ayah menjadi koreksi, menjaga ruang dalam hal komunikasi dengan anak-anak. Sehingga kami segan, tidak bebas mengungkapkan apa yang dirasa.
Untuk hal ini saya tidak ingin menjaga jarak, sesering mungkin bercanda pun berdiskusi dengan anak-anak. Kedekatan dengan buah hati menjadi prasyarat, agar kami bisa saling mengerti satu sama lain.
-0o0-
Saya kini seorang ayah, dengan segala keterbatasan pula menyerap semangat keayahan. Meyakinkan diri, bahwa persembahan terbaik akan meghadirkan yang terbaik juga. Sekecil apapun sikap dan perhatian sayang, kelak akan dikenang anak-anak. -salam-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H