Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Masa itu Sebentar Lagi Lewat, Ayah Akan Kangen

14 Januari 2017   05:48 Diperbarui: 14 Januari 2017   07:07 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi-dokumentasi pribadi

Ribet ga sih, kalau pergi ke mana mana diikutin anak. Mau beli gorengan ikut, mau beli pulsa ikut, mau isi bensin tak mau ketinggalan. Nih anak, sudah kaya bayangan saja, kemana orang tua pergi dia harus ada disampingnya. Bahkan geser tempat duduk saja, langsung menatap curiga, khawatir ditinggal induk semang.

Kesel ga sih, saat jam kerja ditelpon nanya kapan pulang. Sedang di perjalanan ditelpon lagi, sudah sampai di mana kok ga nyampe -nyampe. Telat lima menit saja sampai rumah, diprotes seperti melakukan kesalahan besar.

O'ya, karena  yang menulis adalah saya yang seorang ayah. Maka harap dimaklumi, kalau melihatnya dari sudut pandang seorang ayah. Padahal sangat mungkin, seorang ibu punya pengalaman dengan anaknya, justru mengalami yang lebih dahsyat dan mendalam.

Mungkin bagi ayah, dengan anak usia di bawah tujuh tahun mengalami. Sang anak begitu sangat tergantung, pada figur lelaki andalan yaitu ayahnya. Anak yang memiliki kedekatan dengan ayah, biasanya akan menunjukkan sikap sedemikian protektif. Si ayah menjadi miliknya penuh, tak boleh direbut dan diperebutkan oleh siapapun.

Kalau ada ayah yang tidak mengalami, wah jangan-jangan ayah memang kurang dekat dengan anak. Entah karena alasan kesibukan pekerjaan, atau karena tidak bisa bersikap luwes. Tapi, sangat disayangkan, tidak berkesempatan merasakan, sensasi keseruan hubungan ayah dan anak luar biasa.

Yaa, hanya bisa dirasakan ayah dan anak.

---000---

Illustrasi-dokpri
Illustrasi-dokpri
Setelah anak menginjak usia delapan tahun, perasaan ini akan dirasakan oleh ayah yang dekat dengan anaknya.

Mendadak ada yang berubah, ruang renggang itu terasa ada dan hadir di hati. Anak kerap pamit keluar naik sepeda, untuk main dengan teman sebayanya di taman. Anak mulai punya kesibukan sendiri, kesibukan yang tidak mau dicampuri ayahnya.

Saat ayah menyatakan ingin pergi, bisa saja tidak ada reaksi pengin ikut serta. Bahkan kalau ayah sengaja ingin si anak diajak, ada aja alasan untuk menolak.

"Lagi ada janjian sama temen", "ada PR belum selesai dikerjakan, "Kakak di rumah saja", dan seterusnya.

Pada satu sisi, mungkin ayah bisa mahfum merasa si anak sudah mulai besar. Telah memiliki dunia sendiri, dunia yang tidak dipahami ayahnya. Namun pada sisi lain, ada yang tumbuh seperti perasaan hampa.

Dulu kemana mana ada yang membuntuti, sekarang seperti tidak lagi peduli. Dulu ada yang digandeng dan digendong, kini ayah berjalan berlenggang tangan--sedih ya.

-000-
 Malam itu, saya menjemput mbarep yang baru pulang field trip dari Bandung. Beserta rombongan bus besar, tiba di lokasi meeting point jam 23.00.

Begitu bus merapat dan berhenti, dari jendela kaca terlihat penumpang di dalam berdiri. Lelaki menjelang akil baliq, dengan postur lebih tinggi dibanding teman sebaya. Begitu mudah ditemukenali, oleh saya ayahnya yang sibuk mencari.

Bak barisan antrean sedang berjajar, langkah anak-anak menuju pintu keluar bus. Begitu yang saya tunggu sampai di tangga pintu bus, kesan sayu dan lelah dapat saya tangkap. "kasian" batin ini berucap, spontan naluri keayahan mendesak keluar.

Melihat permata hati mendekat, secara reflek tangan hendak mendekap meraup lelah. Namun tangan lelaki kecil itu menepis, cukup mengambil punggung tangan ayahnya untuk dicium. Ah saya bisa paham kata hatinya, "malu ayah, dilihat banyak orang" begitu saya mengira-ngira.

Saya membaca dari bahasa tubuhnya, sekaligus menyadari tindakan ayahnya tidak pada tempat dan waktu yang tepat.

Roda dua berputar membawa ayah dan anak, dalam perjalanan menuju rumah.
 Kantuk yang tampak menyerangnya, membuat saya sengaja tidak mengajak ngobrol sepeti biasanya.
Anak lelaki itu, meski duduk di jok yang sama, memilih agak berjarak. Seolah ingin menyampaikan,"aku sudah besar, bukan anak kecil lagi". Tak ayal punggung ini terasa dingin, tersapu semilir angin yang ditabrak oleh kecepatan motor.

Berkelebatan bayang peristiwa masa lalu, semasa kecil sampai si mbarep kelas dua sekolah dasar. Perawakan tubuh ayahnya, seolah tak boleh lolos dari pandangan. Kalau saya hendak pergi, keras upaya ibunya membujuk dan meyakinkan, bahwa ayahnya tidak akan pergi lama, sehingga lelaki kecil ini tak perlu turut serta.

Sungguh, saya merasa kangen dan kangen dengan masa itu. Namun seketika saya disadarkan, bahwa yang telah terjadi tak akan kembali. Beberapa waktu lalu si mbarep menyampaikan, keinginan melanjutkan belajar di luar kota selepas sekolah dasar.

illustrasi-dokumentasi pribadi
illustrasi-dokumentasi pribadi
Pasti jarak itu, secara fisik akan semakin menjauhkan kami. Namun begitulah sunnatullah berlaku, atas kehidupan atas setiap manusia yang hidup di atas bumi.

Apa yang terjadi nanti terjadilah, sebagai ayah saya sudah berupaya keras. Memanfaatkan waktu kebersamaan, dengan sebaik membangun kedekatan sejak balita. Kebersamaan yang telah terjadi, saya yakini akan menjadi pengingat hingga kelak anak dewasa.

Para ayah yang budiman, kalau belum mempersembahkan waktu pada buah hati. Bergegaslah jangan terlalu geming, senyampang kesempatan masih ada. Pada anak usai di bawah tujuh tahun, masa emas menanam kebersamaan.

 Ayah, sebelum semua terlambat. Manfaatkan waktu sebaiknya, pada buah hati usia di bawah tujuh tahun. Masa yang hanya hanya sebentar lewat, kelak ayah akan kangen saat mengenangnya. -salam-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun