Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Pilih Tinggal di Rumah Mertua atau Ngontrak?

3 Januari 2017   13:39 Diperbarui: 3 Januari 2017   19:22 10168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah pesta pernikahan dilangsungkan, terbentang sudah jalan menuju kehidupan nyata. Sebagai pasangan suami istri baru, tentu masih sangat banyak "pekerjaan rumah" menunggu.

Okelah, mungkin ada saat menikmati bulan madu. Masa indah yang sudah semestinya direguk, sebelum pahit getir kehidupan dihadapi berdua. Namun masa itu akan lewat, terus berjalan berganti dengan masa yang baru berikutnya dengan cita rasa berbeda.

Ada kebutuhan mutlak dan harus dipenuhi, adalah di mana berdua suami dan istri musti tinggal. Sebagai sebuah keluarga, sudah sepantasnya memiliki kediaman terpisah dari orang tua.

Kalau memang sudah punya rumah sebelum menikah, selesai sudah masalah. Tapi bagi yang masih sama-sama merintis dari nol, menjadi kesempatan berdua mencari jalan keluar.

"Sudah, tinggal di rumah ibu/bapak saja"

Mungkin ada tipe orang tua, menyediakan satu ruangan khusus (biasanya kamar) untuk anak dan menantunya.

Beragam alasan ada di balik ajakan tersebut, bisa jadi hanya anak semata wayang dimiliki, atau memang kebetulan memiliki rumah luas dengan banyak kamar, atau anak yang baru menikah adalah anak kesayangan, atau ada alasan lain yang tidak diketahui, atau.., silakan lanjutkan sendiri.

Ajakan menetap di rumah orang tua, kepada anak yang sudah menikah memang sangat wajar adanya. Pada umumnya, mereka belum siap melepas pergi sang anak. Padahal siapapun tak akan pernah siap, kalau tidak memaksakan diri siap atau dipaksa keadaan.

Kalau si anak manut-manut saja dan disetujui pasangan, tak mustahil menetap di rumah ibu dan ayah menjadi pilihan. Tapi kalau pasangan ternyata tidak setuju, musti mencari formula yang tepat untuk menyenangkan semua pihak.

Tinggal bersama di rumah orang tua, mungkin tidak terlalu masalah bagi anak kandung, Sementara bagi anak menantu, tentu akan menangung perasaan kurang leluasa atau kurang nyaman.

Illustrasi-dokpri
Illustrasi-dokpri
Bagaimanapun juga, ada adat kebiasaan yang belum diketahui sang menantu. Karakter sang mertua juga belum nampak aslinya, sehingga menuntut menantu meraba-raba kemauan mertua.

Hidup adalah pilihan

Arah tulisan ini, tidak ingin membahas tentang benar dan salah tinggal di rumah mertua. Karena sebuah pilihan, apapun itu, sifatnya sangat personal yang akan membawa resiko sendiri-sendiri.

Memilih tinggal dengan mertua, atau bersikukuh tinggal terpisah, tentu membawa konsekuensi masing-masing. Tak sepenuhnya benar, tinggal di rumah mertua selalu enak. Namun juga tidak sepenuhnya benar, menantu yang tinggal bersama mertua tidak nyaman. Semua keadaan sangat kasuistis, tergantung bagaimana setiap orang bisa menyikapi dan menempatkan diri.

Terlebih kalau di rumah mertua, ternyata masih tinggal saudara lain (adik/ kakak) yang belum atau sudah menikah. Berarti ada tugas tambahan bagi si menantu, menjaga sikap dan ucapan agar tidak menyinggung suadara ipar.

Rumah kontrakkan-dokpri
Rumah kontrakkan-dokpri
Saya pribadi, termasuk tipe memilih tinggal terpisah. Dari awal sudah memperhitungkan resiko, membayang bagaimana suka duka mengajak pasangan jiwa tinggal di kontrakkan. Perlu alasan kuat meyakinkan istri, sehingga luluh dan mengikuti kemauan suami.

Yang menguatkan pilihan tinggal terpisah kala itu, adalah output yang bakal didapati dengan hidup mandiri. Secara mental akan terbangun, ketika berani menghadapi anak duri kehidupan berumah tangga. Hidup tak bisa lepas dari konflik, tugas manusia adalah menghadapi dan belajar menyelesaikan dengan baik.

Keadaan ini kemungkinan kecil terjadi, apabila masih dekat dengan orang tua. Bayangkan, Ibu atau ayah mana tega, melihat anaknya makan hanya nasi tawar dan tempe goreng saja. Mereka dengan kerelaan, bergegas turun tangan membantu keluarga anaknya.

Yang membulatkan tekad kala itu, tinggal terpisah adalah peluang emas bagi lelaki, belajar dan berproses menjadi nakhoda mengendalikan laju kapal bernama rumah tangga. Sedikit demi sedikit membeli kebutuhan rumah tangga dengan susah payah, rasa puas itu yang tidak tergantikan dengan apapun juga.

Sedangkan tinggal bersama mertua, musti siap dengan kemungkinan campur tangan orang tua dengan masalah keluarga anaknya.

Bisa jadi apa yang ada di benak saya, tidak sepenuhnya benar karena melihat secara subjektif. Tapi saya tetap berusaha melihat secara objektif, sekaligus ingin membagi pengalaman yang telah dijalani. Sejauh yang saya lihat dan rasakan, setidaknya kenyataan yang terjadi sudah mengatakan.

Bahwa seorang pemberani, susah semestinya berani menghadapi resiko atas pilihan. Sebaik pilihan, adalah pilihan yang menguatkan mental dan sikap dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun