Tanpa terasa hari ke hari sepanjang tahun 2016 dilalui, setiap kita pasti mengalami banyak peristiwa dalam kehidupan. Baik kisah sedih pun suka, menjadi keniscayaan yang harus dijalani setiap manusia. Tak bisa diri hanya memilih kisah penuh cita ria saja, sekaligus mengesamppingkan hadirnya air mata.
Kalau saja hanya kesenangan semata yang ada, bukan mustahil sikap empati perlahan mati. Jika hanya suka cita menjadi kawan sepanjang jalan, bagaimana tumbuh jiwa tangguh di segala keadaan.
Kedewasaan dalam mengelola ego, lazimnya lahir setelah jiwa melalui proses penempaan. Hadirnya kearifan dalam bersikap dan berucap, umumnya muncul setelah menyediakan diri terhadap batu ujian.
Andaikan kepedihan ibarat masa bertapa, biarkan sinar bahagia menjadi pelipurnya. Ketika senang dan riang laksana berpesta, tak jarang kelalaian menjadi buahnya.
-0o0-
"Mas, kita dulu-duluan ya" bisik si suami saat menyalami di pelaminan
Saya membalas dengan senyuman, tahu maksud kalimat yang disampaikan. Karena di belakang masih ada beberapa tamu, tentu tak bisa leluasa berbincang sapa. Sejak saat itu, bisikan ini menjadi tantangan dari "sang penantang".
Seminggu berjalan setelah menikah, kami ditahan tinggal di rumah mertua. Padahal saya sudah mengontrak rumah mungil, tak jauh dari kediaman ayah dan ibu dari pihak istri. Kontrakan dengan tiga ruangan kecil, bisa dibayangkan bergerak ke sana mentok tembok gerak ke sini mentok lemari--hehehe.
Maka setelah tujuh hari terkewati, saya bersikeras terpisah dengan orang tua. Seribu alasan dikemukakan, selain sudah punya tempat tinggal, jauh di lubuk hati saya ingin merasakan proses sebagai kepala rumah tangga di rumah sendiri. Argumen yang cukup bisa diterima akal, hingga tak ada alasan orang tua menahan langkah.