Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jodoh dan Buah Hati Hadir di Penghujung Sabar dan Usaha

2 Januari 2017   09:00 Diperbarui: 2 Januari 2017   09:58 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa terasa hari ke hari sepanjang tahun 2016 dilalui, setiap kita pasti mengalami banyak peristiwa dalam kehidupan. Baik kisah sedih pun suka, menjadi keniscayaan yang harus dijalani setiap manusia. Tak bisa diri hanya memilih kisah penuh cita ria saja, sekaligus mengesamppingkan hadirnya air mata.

Kalau saja hanya kesenangan semata yang ada, bukan mustahil sikap empati perlahan mati. Jika hanya suka cita menjadi kawan sepanjang jalan, bagaimana tumbuh jiwa tangguh di segala keadaan.

Kedewasaan dalam mengelola ego, lazimnya lahir setelah jiwa melalui proses penempaan. Hadirnya kearifan dalam bersikap dan berucap, umumnya muncul setelah menyediakan diri terhadap batu ujian.

Andaikan kepedihan ibarat masa bertapa, biarkan sinar bahagia menjadi pelipurnya. Ketika senang dan riang laksana berpesta, tak jarang kelalaian menjadi buahnya.

-0o0-

Illusrasi-dokpri
Illusrasi-dokpri
Saya masih ingat pada hari pernikahan, lebih dari satu dekade berlalu. Saat itu sahabat kami datang, sepasang suami istri yang masih pengantin baru juga. Mereka dua bulan lebih dulu ijab kabul, sebagai kawan karib saya turut menghadiri. Sang mempelai perempuan, ternyata kawan kuliah calon istri saya kala itu.

"Mas, kita dulu-duluan ya" bisik si suami saat menyalami di pelaminan

Saya membalas dengan senyuman, tahu maksud kalimat yang disampaikan. Karena di belakang masih ada beberapa tamu, tentu tak bisa leluasa berbincang sapa. Sejak saat itu, bisikan ini menjadi tantangan dari "sang penantang".

Seminggu berjalan setelah menikah, kami ditahan tinggal di rumah mertua. Padahal saya sudah mengontrak rumah mungil, tak jauh dari kediaman ayah dan ibu dari pihak istri. Kontrakan dengan tiga ruangan kecil, bisa dibayangkan bergerak ke sana mentok tembok gerak ke sini mentok lemari--hehehe.

Maka setelah tujuh hari terkewati, saya bersikeras terpisah dengan orang tua. Seribu alasan dikemukakan, selain sudah punya tempat tinggal, jauh di lubuk hati saya ingin merasakan proses sebagai kepala rumah tangga di rumah sendiri. Argumen yang cukup bisa diterima akal, hingga tak ada alasan orang tua menahan langkah.

Illustrasi-dokpri
Illustrasi-dokpri
Kehidupan baru benar-benar kami jalani, termasuk beradaptasi dengan lingkungan. Tak jauh dari tempat tinggal, terdapat loket pembayaran listrik warga. Perempuan kira-kira usianya di atas saya menjadi petugas, kerap berpapasan kalau kami sedang di luar rumah. Dengan postur tubuh yang subur tak terlalu tinggi, wajah perempuan ini terkesan tampak lebih tua dari usianya.

Karena intensitas pertemuan yang sering, akhirnya perempuan ini semakin akrab dengan istri. Sampai terdengar cerita, pada usia yang lewat tiga puluh belum menikah. Kalau loket sedang sepi dan saya sedang ngantor, petugas loket main sekaligus menemani istri di rumah.

Pada bulan ketiga pernikahan istri hamil, tentu menghadirkan rasa syukur dan bahagia. Apa lagi musabab kebahagiaan pasangan suami istri baru, kecuali hadirnya buah hati penguat pernikahan.

Sampai pada tahap ini saya merasa, mampu menjawab "tantangan" kawan karib saat di pelaminan. Sementara sang penantang terdiam, tanda kehadiran janin belum ada di rahim sang istri. Saya dan istri tak serta merta menjatuhkan mental sahabat, selalu mensupport teus semangat berusaha dan berdoa.

Semantara kehadiran teman baru di rumah kontrakkan, sangat membantu istri untuk mengusir sepi. Begitulah rutinitas dijalani, sampai istri memutuskan membuka usaha kecil-kecilan.

Keluarga kecil kami benar-benat menerapkan sikap hemat, menahan habis-habisan keinginan membeli barang tak terlalu penting. Pada tahun ke empat pernikahan, alhamdulillah bisa membeli rumah. Sebuah rumah lama, nenek sang pemilik pengin menghabiskan masa tua di rumah anaknya.

Kebetulan rumah baru (tapi rumah lama), berjarak sekitar satu - dua Kilometer dari kontrakkan. Pertemanan istri dengan penjaga loket terjaga, seperti komunikasi dengan suami istri karib kami yang belum dianugerahi buah hati.

Perjalanan Medio 2016

"Ayah, ingat teman bunda yang jaga loket?"

"Iya ingat, kenapa"

"Bunda dapat undangan, dia akan menikah"

"Alhamdulillah" ucap syukur kami ucapkan bersama

Sahabat yang usianya akhirnya kami ketahui 44 tahun ini, menikah dengan seorang duda ditinggal mati istri. Sang duda tahun ini genap 57 tahun, pernikahan sempat ditentang anak-anaknya. Tapi begitulah kenyataan hidup terjadi, hal-hal diluar kuasa kita bisa dilihat dan dijalani. Jodoh sang perempuan penjaga loket, mungkin memang didatangkan setelah usianya di atas empat puluh.

Rasanya kekagetan pertama kami belum selesai, datang lagi suprise berikutnya.

"Ayah, ingat kawan karib sang penantang"

"Iya kenapa?"

"Istrinya sudah melahirkan" Kabar gembira kami terima, empat hari menjelang pergantian tahun baru 2017.

"Alhamdulillah" Ucap syukur kami bebarengan.

Setelah sepuluh tahun lebih usia pernikahan, buah hati itu hadir pada rumah tangga kawan karib kami.

Illustrasi-dokpri
Illustrasi-dokpri
Sabar dan Usaha !!

Dua kalimat singkat "Sabar" dan "Usaha", terasa merangkum segenap perjalanan panjang dua kenalan baik kami.

Mereka berdua telah mengalirkan inspirasi, bahwa kesabaran tak boleh dibatasi, bahwa usaha jangan dipatahkan. Yang menahan langkah dan harapan, sebenarnya pikiran kita sendiri.

Hingga langkah sang penjaga loket berhenti, pada ambang pintu belahan jiwa. Hingga asa si penantang tiba, pada dua tangan menggendong mahluk kecil permata hati. - semoga menginspirasi-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun