Kepalanya mengangguk, sembari menunjukkan jempol di tangan kanannya. Puas melihat anak lanang sedang lahab, satu mangkok Bakmi Mewah ludes tak sampai sepuluh menit.
"Yah, bobo lagi yuk" ajak anak lanang setelah kenyang.
Hari masih dini, jam menunjukkan angka di setengah tiga. Saya menuruti ajakan kakak, meski tak yakin bisa tidur. Kalau sudah bangun dan melakukan aktivitas, mata ini bisa bablas melek sampai siang. Saya hanya rebahan di samping anak, memastikan sampai terlelap si buah hati. Selanjutnya membaca buku, atau membuka laptop untuk menulis.
Karena perut sudah terisi, dengan cepat kakak kembali terlelap. Memandangi wajah jagoanku, tumbuh perasaan sayang yang mendalam. Tiba- tiba saya merasa bersyukur, melalui episode dini hari dengan lancar.
Sungguh saya menikmati, setiap tahapan memasak Bakmi Mewah sambil menyingkirkan rasa kantuk. Karena yakin kelak saat anak ini dewasa, akan mengingat moment masak Bakmi Mewah pada dini hari. Persis seperti saya mengingat kisah masa lalu, baik saat bersama ayah atau ibunda.
Rasa tulus menyayangi, terpancar dari raut wajah, muncul dari ucapan dan perangi. Hasilnya Bakmi Mewah yang lezat dan enak, akan dikenang dalam benak sang juara.
-Tumbuhlah menjadi anak soleh, sehat dan cerdas anakku-, doa saya hunjamkan sembari memandangi wajahnya.
Waktu kembali merambat, menjemput pagi yang sebentar lagi datang. - Terima kasih Bakmi Mewah, Yuk memasak sepenuh hati-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H