Kalau menikah, berarti hitungannya dua kali pengeluaran saat masih bujang (asumsinya suami istri). Sementara sisa pengeluaran akhir bulan yang ditabung, tentu jauh jaraknya dengan angka pengeluaran. Nah, musti kemana mencari kekurangannya?
Pertanyaan ini sampai puyeng, tak kunjung mendapat jawaban. Wong gajian naik cuma setahun sekali, itupun prosentasenya tidak sampai separuh gaji. Apalagi calon istri belum bekerja, melihat gelagatnya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT).
Benak ini bertambah ciut, membayangkan bagaimana kalau istri hamil. Dari mana lagi ongkos dicari, untuk membayar periksa kandungan, membeli susu hamil dan keperluan lainnya.
"Kamu jangan pikir yang susah-susah, yang penting jalani saja dulu. Apa yang kamu takutkan, sebenarnya belum tentu terjadi asal kamu terus berusaha" Nasehat ibu sembari memperkokoh keyakinan.
Tiba-tiba saya flashback, merunut cikal bakal keluarga (alm) ayah dan ibu dulu. Mereka dengan enam anak, ayah hanya guru SD dan Ibu membuka warung. Benar mereka bersusah payah, mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ibarat kata kepala menjadi kaki, gaya hidup kami sungguh-sungguh sekadarnya. Tapi kenyataan berkata, semua terlewati sudah sampai kini. Bahkan ayah dan ibu, bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Masalah makan hanya dengan tahu tempe, besok hanya dengan sayur lodeh. Itu bukan masalah penting, buktinya saat itu nyaris kami sehat-sehat selalu.
"AHA", keberanian itu perlahan mulai muncul.
Saya bertambah yakin, ketika membaca ayat Al Qur'an Surat Hud ayat 6. "Dan tidak suatu makhuk bernyawa pun di bumi melainkan dijamin Allah Rejekinya........dsb"
"Jalani saja dulu" kalimat ini saya pegang dan praktekkan. "Bismillah, aku menikah" kalimat ini mantap di kalbu.
Akhirnya saya membuktikan sendiri, berbekal gaji yang sama berani menikah. Untuk keperluan rumah tangga selama sebulan, hampir dua pertiga gaji disisihkan. Itu belum lagi bayar kontrakan rumah, beli bensin atau pengeluaran tak terduga lainnya.