"kalau ngaturnya begini, nanti ambil makannya jadi berurutan" lanjut ibu sudah mulai selesai pekerjaannya.
Saya manggut-manggut tak paham, tapi tak berusaha bertanya lebih jauh. Karena tak menemukan kalimat bertanya yang tepat, untuk menerjemahkan ketidaktahuan itu.
Baru ketika saya perhatikan, ternyata komposisi yang diatur ibu benar adanya. Saat ayah hendak bersantap, kali pertama mengambil piring dan sendok. Kemudian tangan kanan mengambil nasi, selanjutnya sayur, dilanjutkan lauk dan terakhir sambal.
Sementara untuk gelas dan teko isi air putih, berada agak ke pinggir meja ada dekat kursi ibu. Ibu yang mengambilkan minum untuk ayah, sementara kami anak-anak mengambil sendiri.
Ibu hanya lulusan sekolah dasar, sepemahanan saya sangat taat pada suami. Prosesi mengambil makananpun, selalu ayah diminta lebih dahulu mengawali. Ayah yang pendiam dan kami segani, tak serta merta mengambil makanan semaunya. Kalau sedang rejeki lebih ada gorengan rendang, ayah mengambil potongan paling kecil. Kakak yang nomor tengah, biasanya paling gemar mengincar jatah ayah untuk dirinya.
Ayah dan ibu, adalah teladan bagi kami  anak-anaknya. Tentang kerukunan dan kebersamaan, tentang rasa nrimo dan mensyukuri apa diperoleh atas usaha kerasnya. Seingat saya, tak pernah ibu ribut gara-gara uang pada ayah.
"Kalau duit kan bisa dicari bareng-bareng, yang penting selalu rukun dan tak putus usaha" nasehat ibu ketika saya mulai berumah tangga.
Betapa bahagia bisa dibalut, tak selalu dengan kepemilikan dan kelebihan harta. Cukup dengan kebersamaan dan saling memahami, ternyata bisa melampaui segala.
Eits, namun jangan coba-coba. Mengajak berbicara saat sedang makan, biasanya ibu akan langsung menegur.
"Ngobrolnya nanti saja abis makan, biar makanannya jadi berkah" ibu memotong pembicaraan yang hendak dimulai anaknya.