Sepuluh hari terakhir Ramadhan, tak lupa saya ajak sulung i'tikaf (berdiam diri) di masjid. Kami punya beberapa masjid pilihan, sebagai tempat menjemput malam Lailatul Qadar. Untuk mengetahui siapa ustad dan tema i'tikaf, tak perlu repot harus membaca di papan pengumuman masjid. Cukup via website masjid bersangkutan, kami memilih tema yang menurut kami menarik kemudian mendatanginya.
Untuk mengaji dan membaca fiqih selama i'tikaf, tak perlu lagi membawa kitab dalam bentuk fisik. Kini sudah ada ebook siap didownload di smartphone, praktis dan bisa dimasukkan dalam saku. Untuk proses download yang cepat, tentu membutuhkan dukungan signal yang kuat.
"Lebaran jadi mudik to le" suara ibu terdengar dari seberang
"Nggih, saya mudik sekeluarga buk" jawab saya
"Yo tak tunggu" suara sepuh itu mengakhiri perbincangan
Jadwal mudik bergantian berlaku di keluarga kami, berlangsung sudah cukup lama. Kalau lebaran tahun ini di rumah ibu kandung, maka tahun berikutnya giliran di rumah mertua. Hal serupa juga diterapkan, pada lima kakak yang semua sudah berkeluarga.
Untuk urusan berburu ticket mudik, saya sudah pesan sembilan puluh hari sebelum tanggal pulang. Standby di depan laptop, setengah jam sebelum pergantian hari. Agar peluang mendapat tiket besar, janjian dengan keponakan di lain kota yang kebetulan agen ticket. Dari tempat terpisah Kami  membuka website, koordinasi mulai pukul 23.30 wib untuk empat ticket.
Perburuan tiket diwarnai drama !
Tiket kereta eksekutif yang diincar, ludes bahkan dalam hitungan menit. Padahal tak ada masalah dengan jaringan, hanya saya kalah cepat saja (meski sudah usaha maksimal).
Terpaksa gigit jari, karena kalah gesit dengan ticket hunter yang memiliki tujuan sama. Namun asa berburu tak boleh pupus, berinisiatif  banting stir mencari ticket kelas bisnis.
"Buruan cari empat seat kelas bisnis!" chatting saya pada keponakan.