Berbagi bahagia melalui sekeping biscuit, smoga kelak satu diantara anak-anak ini menjadi pemimpin bangsa- amin (dok foto- FB Nesya)
Akhir bulan april lalu saya berkesempatan ke Batam, untuk sebuah program Nusantara Sehat (NS) dari Kementrian Kesehatan. Sungguh ibarat mendapat durian runtuh, bisa tergabung dalam perjalanan luar biasa ini. tak saya sia-siakan waktu yang berjalan, menjalin interaksi dan komunikasi. Sebagai bahan tulisan, yang tak sabar saya bagikan kepada kompasianer's tercinta.
Aktivitas di medsos atas acara di Batam gayung bersambut, dengan Team NS di daerah pelosok lainnya diantaranya Papua. Barulah saya kenal (via medsos) dengan Nesya Ardella Simamora, gadis kelahiran Binjai 23 tahun lalu. Â
Nesya tergabung dalam team NS, untuk penempatan di daerah perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea. Lokasi ini termasuk kategori sangat terpencil, tepatnya Distrik Kombut Kab.Boven Digoel, Papua berbatasan dengan negara tetangga.
Dengan runut Nesya berkisah via email, dan saya ceritakan ulang di laman Kompasiana yang istimewa.
00-00
Pendamping  dari Kementrian, provinsi dan Kabupaten, baru saja beranjak meninggalkan kami. Suasana yang tadinya penuh tawa dan semarak, berubah hening namun saya seperti berada di ambang gamang.  Kehidupan nyata yang sesungguhnya mulai ada di hadapan, dan akan saya hadapi hingga dua tahun kedepan (masa bakti NS).
Saya terus berusaha memantapkan hati, bahwa yang sedang saya alami adalah pilihan sendiri. sembari meyakinkan hati, bahwa di sini sepenuh jiwa saya harus berada.  Membulatkan tekad menemani saudara  sebangsa yang membutuhkan, mengesampingkan kesenangan diri sendiri.
Untungnya saya tidak sendiri, kami berlima tergabung dalam Team Nusantara Sehat di daerah ini. Kesepian  tak sepenuhnya terasa, karena kami saling menguatkan satu sama lain. Menjalani matahari demi matahari yang masih panjang, namun tertanam rasa optimis dalam nubari. Â
Semua  yang ada sudah terprediksi sebelumnya, namun kenyataan jauh melebihi bayangan.  Melihat keadaaan yang sedang terjadi pada saudaraku sebangsa, bola mata ini berkaca-kaca. Aku meyakinkan diri, kaki ini masih menginjak tanah pertiwi Indonesia. Semangat Patriotisme sontak menggelora, mendadak memenuh sesakkan rongga dada.
Hal yang membuat terenyuh, adalah saat hendak mencapai tempat pemandian. Saya musti turun ke bawah masuk ke hutan, hanya untuk menemukan tempat air. Sampai di tujuan saya semakin ternganga, ternyata bukan sungai dengan air jernih yang mengalir dan segar. Saya melihat kubangan air berwarna merah kecoklatan, dan air ini setiap hari untuk mandi saudara-saudaraku di sini.
Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, pepohonan besar tumbuh dan rimbun. Saya menerka sembari menyimpukan, bisa jadi air di hadapan adalah tadah hujan atau mungkin berasal dari akar pepohonan.
Nyamuk yang saya temui lain bentuk maupun rupa, seolah membesar layaknya monster. Kalau menggigit sangat maksimal, ras sakitnya melebihi nyamuk biasa. Tak mengherankan, setelah itu meninggalkan bengkak merah lama lama berubah hitam.
Malam semakin legam mengingat listrik belum ada, tak ada hiburan kecuali nyanyian Jangkrik menemani waktu demi waktu sampai fajar tiba.
Saatnya Bertugas
Wajah-wajah ramah namun asing, melihat kami dengan penuh tanda tanya besar. Saya berpikir sebagai satu kewajaran, apalagi kami team NS adalah pendatang baru. Dengan menarik dua ujung bibir maksimal, senyum ini dominan mengembang sepanjang hari.
Saya menghampiri satu persatu warga, sembari menyebutkan nama. Memperkenalkan diri dengan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Mengadakan kunjungan dari rumah ke ruumah, menjalin keakraban sekaligus mempelajari kebiasaan masyarakat.
Kami belajar menyesuaikan diri dengan pola pikir, agar diterima oleh masyarakat setempat. Â Bagi kami keseimbangan dan pemahaman yang baik dengan warga, menjadi point utama yang harus dimiliki. Â Sebagai bekal paling urgent team NS, sebelum melanjutkan misi kesehatan.
Namun ada kendala saya temui, adalah aksen berbahasa membuat saya agak kesulitan. Meski sudah berusaha sangat keras memasukkan ucapan dalam memori otak, tetap saja tak semulus ketika hendak melafalkan (hehehe).
Satu hal kelemahan saya, mendeteksi garis wajah  warga. Menurut saya mereka mirip satu dengan yang lain, menyebabkan saya kesulitan memprediksi usia mereka.
"Selamat Sore Bapaaaaak...." sapa saya ramah
"Sore Mama!!"balasnya ketus tampak wajah tak bersahabat.
Niat baik sore itu ternyata berbuah pahit, saya tak paham apa yang terjadi. Barulah ketika sampai di barak mendapati jawab, yang saya sapa tadi ternyata seorang pemuda. Pantas saja dia ngomel gak jelas, tawa sayapun meledak setelah menyadari kekeliruan itu.
Keesokkan hari saat bersua, saya meminta maaf dan memanggil kakak. Wajah pemuda ini berubah cerah, melenyapkan rasa bersalah yang saya tanggung.
---0---
Kegiatan pada bulan pertama dan prioritas, melakukan Home Visit sekaligus pendataan status kesehatan masyarakat. Salah satunya sweeping Malaria, jenis penyakit yang cukup meledak di kampung ini.
Namun kendala infrastruktur cukup menganggu, jalan sulit dilewati terlebih saat hujan turun. Perlu upaya ekstra mengarungi jalanan, lumpur tebal serasa menyatu di kaki menyebabkan terpleset. Satupun  team NS tak ada yang luput, ada baret-baret bekas luka akibat jatuh.
Malam itu saya dan satu teman terjebak hujan, di tengah perjalanan balik ke barak Puskesmas. Karena tanggung kami nekad, melawan deras hujan terlebih hari beranjak gelap. Hati ini mulai dilanda cemas, badan kuyup dengan logistik ditangan yang juga basah.
Motor puskesmas yang kami kendarai terkenal rentan mogok, lampu sorot depan tidak berfungsi. Karena gelap semakin menjadi, saya berinisiatif merogoh Handphone di dalam tas.
"Alhamdulillah" ucap saya lirih namun bergembira.
Masih ada power bateri HP dua garis, artinya senter HP bisa dimanfaatkan untuk memandu kami berjalan.
"Blugg" yang kami kawatirkan terjadi
Motor yang kami naiki tumbang, roda depan terperosok lubang di atas jembatan. Logistik terlepas dari tangan dan berhamburan, saya segara memunguti barang agar tak terbawa arus air sungai. Dengan sisa tenaga akhirnya sampai di barak, kami berlima menyelamatkan logistik yang masih bisa diselamatkan.
--o--
Pagi datang penanda hari baru, saya kembali menjalani tugas seperti biasa. Setelah semalam melewati petualangan seru, semangat ini rasanya mangganda. Sebelum menjadi Team NS, basic saya adalah volunteer di beberapa komunitas kemanusiaan. Jadi darah dan semangat ini tak gampang rapuh, apalagi sekedar menghadapi ketidakenakan- ketidakenakkan.
Apa yang saya alami adalah Best Opportunity ever, wadah tepat untuk mengabdi bagi perbaikan bangsa sesuai modal ilmu saya yaitu Ahli Teknologi Laboratorium Medis.
Jadwal hari ini adalah Pusling atau Puskesmas Keliling ke suatu kampung, perut ini rupanya susah diajak kompromi (alias mules).
"Mama, bisa tolong saya di bawa ke toilet " wajah saya menahan rasa tak karuan
"Mari ikut " Ibu itu bangkit
Saya mengikuti dari belakang, sang ibu berbelok menuju jalan ke arah hutan. Saya kaget bercampur risau, ketika melihat ibu merapat ke semak-semak pepohonan.
"Ada di situ" ibu menunjuk satu tempat buang hajat.
"Hah, buang hajat disemak-semak" batin saya membrontak
Untuk menyenangkan hati ibu, saya menuruti saja menuju semak. Padahal hasrat ke toilet lenyap, saat  ada perasaan tidak enak diperjalanan tadi. (Memang adapatasi itu pedih, hehehe)
Bahagia Itu sederhana
Sesederhana pelukan hangat mama-mama, ketika melihat kami datang untuk memberikan pelayanan di kampung.
Hati ini berguncang hebat, menemukan jiwa bersahaja diliputi ketulusan itu. Kerap ketika hendak kembali ke barak, sekarung durian atau buah lain dipersiapkan untuk dibawa pulang. Kami terima penuh suka cita, terlebih melihat pancaran wajah ikhlas itu.
Tapi masalah baru muncul, yaitu kesulitan membawa beban yang tidak ringan ini. Alhasil setelah berjalan agak menjauh dari kampung, kami makan durian di pinggir hutan.
"Nes, makannya jangan banyak-banyak" celetuk satu teman "biar tak ke toilet semak-semak lagi" tawa kami meledak
Setelah mengenal lebih dalam, perilaku masyarakat setempat sopan dan ramah. Sikap inilah yang membuat kami nyaman, terlebih saat rindu keluarga sedang memuncak. Keberadaan mama-mama dan bapa-bapa, bisa menggantikan orang tua kami di rumah. Budaya mengadopsi anak berlangsung, sehingga kekerabatan mereka kuat dan menjadi keluarga besar.
Anak-anak  generasi harapan bangsa semakin akrab, sering kami ajak bermain games, berjoged dan bernyanyi bersama.  Hal ini sesungguhnya sebagai cara menghilangkan stress, sekaligus mengalihkan rasa jemu dan bosan.
Tekad itu Membulat                                          Â
Meski secara usia saya terbilang belia, saya merasa prihatin melihat anak seumuran banyak sekali tuntutan tanpa pemahaman. Yaitu menekan pemerintah memberi solusi, tapi enggan berkontribusi nyata dalam pemecahan masalah bangsa ini.
Kini setelah saya melihat Indonesia lebih dekat melalui daerah perbatasan, ingin rasanya berbuat lebih banyak untuk negeri ini. Pemerintah tidak bisa mengatasi sendiri masalah, di sinilah peran anak muda bisa dijalankan.
Ketertinggalan pada beberapa daerah di Indonesia bukan harus ditutupi, tapi harus diselesaikan bersama. Â Saatnya anak muda berperan serta, sebagai bagian dari elemen bangsa. Keberadaan Team Nusantara Sehat di Papua dan daerah lain, tentu diiringi harapan bisa diikuti pemuda Indonesia lainnya.
Maka kalau suatu saat nanti sudah purna tugas, saya ingin tetap berkolaborasi dengan pemuda lain di negeri tercinta. Membentuk sinergisitas dengan gerakan, yang memiliki misi untuk perbaikan bangsa. Saya ingin juga mengikuti pertukaran pemuda antar bangsa, agar bisa mengadopsi ide dan gagasan untuk azas kemanusiaan.
Kompasianer's, inilah sekelumit kisah dari daerah perbatasan. Terimakasih, yang sudah berkenan membaca, semoga bermanfaat (amin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H