Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengangkat Isu Kerusakan Hutan Melalui Film

11 Desember 2015   07:21 Diperbarui: 11 Desember 2015   08:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar dipinjam dari Fanpages If Not Us Then Who"][/caption]

Ruang Cinema Perpustakaan Universitas Indonesia, siang itu suasananya terasa beda. Sebuah poster menempel di tiang dekat pintu masuk, menyusul standing banner bergambar suku adat. Meskipun diluar mendung sedang bergelayut tebal, namun di dalam studio terasa hangat. Saya hadir atas undangan pribadi dari seorang panitia, kebetulan beliau tahu saya kerap menulis.

Kampanye "Siapa Lagi kalau Bukan Kita", menjadi tema besar dalam kegiatan siang ini. kampanye ini sendiri diluncurkan di New York, "If Not Us Then Who" secara resmi pada 2014. Hadir di indonesia, bekerjasama dengan Indonesia Nature Film Society (Infis), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Forest Wacth Indonesia (FWI). Selain di Jakarta Roadshow dilakukan, di Bogor, Toraja, Sorong.

Een Erawan Putra, Selaku Eksekutif Infis mengungkapkan "melalui video-video dokumenter kita bisa melihat langsung kehidupan masyarakat adat di Indonesia dengan hutannya"ujarnya "kami ingin menyampaikan kepada masyarakat baik di Indonesia atau di luar Indonesia, inilah bukti perjuangan masyarakat Indonesia dalam menjaga hutan, mereka mampu mengelola hutan sejak ratusan tahun sekaligus berperan dalam menjaga perubahan iklim" tambah Een Erawan.

0o0o0

[caption caption="Dokumen Pribadi"]

[/caption]

Kami undangan menyaksikan film demi film, dengan durasi sekitar 30 menitan (ada yang kurang). Selain film dari Indonesia, diputar film dari Kongo, Brasil, Nikaragua dan Peru. Saya melihat masalah hampir seragam, dihadapi mayarakat sekitar hutan. Berupa perebutan lahan, dengan perusahaan yang hendak mengeksplorasi hutan. Untuk alasan apapun, saya pribadi masih tidak setuju dengan cara yang diterapkan.

Kejadian pembakaran hutan, penebangan pohon hingga illegal logging, terjadi tidak di Indonesia saja. Ada perasaan miris dan tersayat, saat melihat kesaksiaan warga sekitar hutan. Mereka yang notabene pemilik lahan, mengalami intimidasi dan penyingkiran dengan (maaf) semena-mena. Wajah-wajah dengan raut duka dan guratan aniaya, terpancar dari tatapan warga mulai orang tua hingga anak-anak.

"sebelum NKRI berdiri, nenek moyang kami sudah mengelola dan menjaga hutan" ujar seorang ibu warga adat "kami akan bertahan agar anak-cucu kami bisa melanjutkan menjaga hutan" tegasnya.

Berikut beberapa film yang di putar

Dayak dan Drones

Sutradara : Paul Redman

Bahkan hutan yang dikelola dengan baik dan telah mendapatkan pengakuan, kerap kali menghadapi tantangan konstan. Tetapi dengan teknologi GPS dan drone yang inovatif, didorong melalui kampanye kerjasama, dan dengan dukungan pemerintah daerah serta sektor ekowisata, orang Setulang dapat terbantu untuk berkembang. Mereka telah menunjukkan bahwa hak-hak masyarakat, lingkungan dan pembangunan bisa berjalan seiring.

Masyarakat Adat di Hutan Halmahera

Sutradara : Nanang Sujana

Di pulau Halmahera, Maluku Utara, lebih dari 300 izin pertambangan mengancam keberadaan hutan tropis yang tak ternilai. Penebangan liar menjadi masalah bagi masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga. Bersama Abe Ngingi, seorang aktivis dari AMAN, masyarakat adat berupaya untuk untuk melindungi hutan mereka

Dari Para Leluhur

Sutradara : Paul Redman

Masyarakat adat yang hidup dari hutan kemenyan di Podumaan Sipituhuta, Sumatera Utara masih harus terus berjuang untuk menghentikan ekspansi penanaman eucalyptus oleh perusahaan. Aksi agresif yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pejabat lokal dan aparat kepolisian telah membawa perjuangan masyarakat kedalam lorong gelap – terjadinya demonstrasi, intimidasi, penangkapan, dan konfrontasi

Harapan*

Sutradara : Paul Redman

Ketika para pemimpin dunia berkumpul di Paris untuk konferensi perubahan iklim COP21, kami mengunjungi komunitas adat yang unik di pedalaman hutan hujan Indonesia. Mereka menawarkan solusi sederhana untuk krisis perubahan iklim global. Masyarakat adat Sungai Utik, komunitas Dayak Iban di Kalimantan Barat ini telah menjaga dan merawat hubungan kuat mereka dengan hutan. Meskipun berbagai tekanan dari banyak perusahaan yang ingin menguasai wilayah adat mereka. Hutan adat mereka masih terjaga baik dan dengan berpegang teguh pada nilai-nilai kehidupan serta budaya yang menjaga persatuan mereka. 

0o0o0

[caption caption="Dokumen Pribadi"]

[/caption]

Usai pemutaran film acara dilanjutkan dengan diskusi, dengan pemateri Een Irawan Putra (direktur Infis), Mufti Fathul Bahri (Forest Watch Indonesia) dan Semiarto Aji Purwanto (Senior Analyst Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia)

Menyaksikan rangkaian pemutaran film, tumbuh perasaan prihatin dan sungkawa. Perusahaan raksasa "merampas" hutan, berdalih untuk kepentingan masyarakat banyak. Namun nyatanya ada saudara kita, masyarakat hutan yang dikorbankan. Betapa pelik dan kompleks masalah saudara kita, harus pergi dari tanahnya sendiri. (semoga menjadi perenungan)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun