Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Cerpen] Mukena Lebaran untuk Ibunda

18 Juli 2015   10:46 Diperbarui: 18 Juli 2015   11:07 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="illustrasi- dokpri"][/caption]

Ramadhan baru saja menjejak di bumi, puasa juga belum tuntas sehari dijalani. Lelaki muda berbadan kerempeng, menyusuri jalan Slompretan Surabaya. Bangunan tua kokoh peninggalan Belanda, megah bercat putih kusam dan terkesan angker. Kelak akan menjadi saksi perjalanan, pria sederhana berbakti pada orangtua.

Bulan ini baru genap setahun mengabdi, di sebuah gudang karpet dan gorden. Artinya ini adalah ramadhan pertama, berstatus sebagai karyawan sebuah toko. Tugasnya sehari hari mengandalkan kekuatan fisik, menata barang masuk sekaligus menyiapkan pesanan. Sempat terbersit puasa tahun ini lebih berat, mengingat pekerjaan yang dilakoni. Namun menahan lapar dan haus, tak boleh dibatalkan untuk alasan pekerjaan.

Yang tengah dijalani sungguh melenceng dari harapan, jauh dari tipical pekerjaan idaman. Saat masih bersekolah tergolong aktif berorganisasi, beberapa kali maju lomba tingkat kabupaten bahkan provinsi. Prestasi akademis tak mengecewakan, nyaris setiap menerima raport masuk rangking lima besar. Pernah muncul bayangan dibenak, suatu saat dinas di kantor mewah berpendingin. Berpenampilan rapi lengkap dengan baju licin senada warna dasi, menjalani waktu dari meeting ke meeting. Sepatu hitam disemir mengkilap, berjalan penuh rasa percaya diri.

Namun kenyataan pahit ditelan, sejak tak bisa masuk kampus negri pilihan. Kuliah menjadi impian istimewa, akan diraih pada waktu yang direncanakan. Rasanya bangku perguruan tinggi menjadi obsesi, untuk keluar dari "kepedihan" yang sedang dialami.

"Hanafi...ini pesanan karpet, tolong siapkan semua" ujar kepala gudang "sepuluh tempat musti dikirim sore ini"

Lelaki muda usia dua puluhan menerima secarik kertas, memastikan stock pesanan masih ada. Setelah yakin bergegas ke gudang belakang, diikuti dua kuli mengemas dan mengangkut barang pesanan.

Gelondongan karpet menumpuk di rak besar, menuntutnya jeli mencari jenis pesanan. Semua karpet dan gorden sudah dipisahkan raknya, berdasar kategori agar mudah menemukan. Aneka motif karpet dan type warna harus dikenali, cukup melihat dari ujung gulungan. Hanafi bisa melampaui pada tiga bulan pertama, hafal hampir duapuluh motif, warna serta ukuran. Semua berkat ketekunan mengikuti seniornya, sembari membuka brosur memperhatikan gambar. Bahkan untuk motif bunga yang cukup rumit, bisa dikenali dari jenis serabut dan warna yang menempel di karpet.

Pekerjaan cukup menguras waktu dan tenaga, saat stock barang yang dicari tinggal sedikit berada ditumpukkan paling bawah pula.

*******

Hanya terpisah tiga bangunan di jalan yang sama, terdapat satu gudang kain cukup luas. Sering terlihat tumpukkan daster, sarung, mukena dan kain batik di tempat tersebut. Pekerja yang berada di sekitarnya, kerap membeli beberapa potong dengan harga discount khusus.

Hanafi sering melintasi gudang ini, saat hendak makan siang di warung emperan. Hingga tergerak hati, suatu saat mampir dan membeli.

"Mukena" gumamnya dalam hati

Tekadnya mempersembahkan mukena bulat, menyisihkan gaji bulanan tak seberapa. Sebagai bungsu tak membuatnya manja, tempaan kenyataan telah membentuknya.

Puasa tahun ini memang jauh berbeda, siang hari tak sekedar menahan lapar dahaga. Yang berat menahan emosi menghadapi kuli, yang sering berkata kasar dan membangkang. Apalagi kalau dua truk barang datang, harus selesai hari itu juga. Fisik yang lelah ditambah godaan untuk marah, semakin sempurna ujian harus dihadapi.

Namun semua menguap menjelang senja, melintasi gudang kain mengingatkan niat. Tekadnya semakin kuat usai menghitung tabungan, lima lembar uang duapuluh ribuan sudah disiapkan. Pernah terbaca delapan puluh ribu di kertas gantungan, tepat pada tumpukkan mukena. Selain terdapat angka ratusan ribu bahkan lebih, di atas tumpukkan mukena lainnya.

Seminggu sebelum mudik dipersiapkan waktu, sore menjelang jam pulang tiba. Mendatangi gudang yang dimaksud, berharap membawa sepotong mukena.

Langkah penuh percaya diri diayunkan, sampai di depan pintu yang dituju. Bergegas mencari tumpukkan mukena, yang pernah dilihat sejak dua hari lalu. Beberapa kali pandangannya tertuju satu tempat, meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah. Perlahan tapi pasti mulai luntur kegagahan, yang semula dimiliki saat kedatangan. Masih ada mukena di tumpukan lain, tapi harganya melebih uang yang disiapkan.

"Mbak, tadi pagi saya lihat harga delapan puluh ribu disini" Hanafi meyakinkan

"Sudah habis tadi siang mas" balas petugas singkat

Tak ada kalimat lagi yang hendak diucapkan, kecuali berkecil hati dan langkahpun mundur teratur. Raut kecewa jelas tak bisa dibiaskan, menghiasai wajah Hanafi senja itu.

"Kenapa mukamu di tekuk gitu" celetuk kepala gudang

"Tidak apa-apa pak, kecapekan saja" elak Hanafi

"Bingkisan lebaran dibagikan besok, ini ada tambahan kamu isi ukuran bajumu" sang pimpinan menyodorkan kertas

Setiap lebaran seluruh pegawai mendapat parcel, khusus tahun ini mendapat tambahan. Baju koko untuk pegawai pria, dan mukena jatah karyawati. Seketika berputar pikiran hanafi, berniat hendak menukar baju kokonya.

"Pak...ehmmm kalau saya pilih mukena boleh?" ucap Hanafi hati-hati

"Kenapa ditukar, kamu mau pakai Mukena" ledek pimpinan sambil tersenyum

"Enggak Pak" Hanafi tersipu, "Buat ibu saya"

Ruangan di sudut gudang sejenak hening, boss gudang itu melihat bawahannya dan mengangguk.

"Yessss" pekik Hanafi dalam hati.

[caption caption="illustrasi- dokpri"]

[/caption]

******

Gema takbir bersahutan membelah angkasa, Hanafi siap mudik lengkap dengan tentengan. Parcel dari kantor dibawa pulang, tak ketinggalan mukena halus berenda cantik. Melihat tampilannya bisa ditaksir, harganya melebih celengan yang disiapkan.

Dalam bus sepanjang perjalanan pulang, tertanam satu pencerahan baru tentang keajaiban. Betapa semesta akan mengawal makhluk di pelatarannya, yang memiliki niat baik dan mulia. Ketidakmungkinan dalam batas logika, akan dilibas selama manusia gigih berupaya.

Mukena menjadi persembahan istimewa, yang setiap helai benang mengiringi harapan dan doa. Hari raya tak lagi sekedar hari kemenangan, tetapi sungguh membuncahkan hati. Lelaki anak ragil dari keluarga bersahaja, bisa membawa oleh oleh untuk ibunda.

"Matur suwun ya le..." kalimat ibu tersendat

"Enggih buk.." balas Hanafi terbawa suasana

Embun bening mendadak hadir di sudut mata, segera ditepis sebelum meleleh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun