Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kegenitan Kultural (Refleksi Akhir Ramadhan)

18 Juli 2014   15:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:59 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah sepuluh hari yang terberat, saatnya semakin kita berupaya lebih untuk mengalahkan keinginan diri sendiri.Janji sang Pencipta tentang keutamaan 10 hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka adalah setara dengan perjuangan menjaga taraweh, tadarus dan berdiam diri di masjid pada malam ganjil demi menggapai lailatul qodar malam yang lebih baik dari seribu bulan. Konon di hari menjelang perpisahan dengan bulan yang suci ini, nabi junjungan Rasulullah Muhammad SAW menggenapkan waktu dengan i’tiqaf (berdiam diri di masjid) untuk memperbanyak sholat, dzikir, kontemplasi dan aneka ibadah, bahkan untuk sekedar menyisir rambut sampai istri beliau Aisah membantunya dengan posisi badan suami masih di serambi masjid, subhanallah alangkah sempurna akhlak beliau.

[caption id="attachment_348399" align="alignleft" width="300" caption="susana masjid yang lengang (dok.pribadi)"][/caption]

Sekarang mampukah kita begitu? Meski kita tak meyangkal keutamaan itu tapi pada saat yang bersamaan kita tak memperdulikannya. Setumpuk kepentingan serentak melambaikan tangan menuntut perhatian lebih. Langkah kaki kita sudah berbelok arah ke pusat perbelanjaan, shaft di masjid tak lagi menarik untuk dilirk apalagi dikunjungi. Berbagai keperluan persiapan lebaran sedemikian penting dan menyibukkannya, menyiapkan daftar panjang parcel untuk kolega demi keberlangsungan bisnis, memborong baju koko dan peci untuk dibagi kerabat di sana sini. Terlalu sibuk diri dengan rangkaian keperluan yang tak berujung dan bertepi.

Anak anak tak lagi diajak bergabung rutin menguntai sholat taraweh dan tadarus hingga rampung tigapuluh hari, mereka lebih sering diajak berbuka puasa bersama di Mall pujasera setelahnya jalan jalan sampai menjelang malam. Kejadian jamak yang lazim dijumpa dalam masyarakat modern saat ini. Kadang kita menyediakan diri ambil bagian di dalamnya, gemerlap dunia terlalu menyilaukan mata, warna warni lampu pusat belanja lebih menarik hati. Keharusan demi keharusan atas sesuatu yang sebenarnya tidak harus telah mengikat diri sebegitu kuatnya, sehingga kesalahan ini menjadi kesalahan kolektif.

[caption id="attachment_348401" align="alignright" width="300" caption="susana restaurant (dok.pribadi)"]

14056452121447005
14056452121447005
[/caption]

Para produsen meniupkan nafsu belanja dengan iming iming discount dan bonus yang sebegitu dahsyatnya, dan konsumen menyambut dengan kedua tangan terbuka. Menjadi hukum sebab akibat yang cantik dan saling menguatkan.

Kegenitan kultural

Budaya konsumerisme telah menjadi bagian dalam keseharian, ingin tampil sangat menarik saat lebaran dan perasaan dianggap keberadaan diri oleh orang lainmasih mendominasi benak. Segala upaya dilakukan hanya demi penilaian penilaian orang lain. Marwah dari prosesi pulang kampung yang begitu mulia untuk menghapus dosa dan kesalahan telah bergeser begitu jauh menjadi kegenitan kegenitan kultural yang tanpa sadar yang kita ciptakan sendiri dan kita sepakati sendiri.

Ajang silaturahmi tahunan yang sedianya bertujuan untuk mempererat hubungan persaudaraan telah ditumpangi oleh rasa pamrih untuk pamer kesuksesan dengan tampilan mobil keluaran terbaru, barang elektronik mutakhir, warna cat rumah yang kontras dengan perabot, model baju ala artis yang sedang ngetrend, dan pernik aksesoris lainnya secara langsung maupun tidak menjadi simbol keglamouran. Tak lagi penting akankah idul fitri sanggup melahirkan kembali hati pada kesucian.

Dalam sejarah penciptaan manusia pertama nabi Adam, malaikat dan setan diperintah Allahbersujud kepada manusia, hanya setan yang membangkang dengan dalih dia yang diciptakan dari api lebih mulia kedudukannya dibanding manusia yang dicipta dari tanah. Maka setan diusir oleh Allah, tapi minta tenggang waktu untuk menyesatkan anak keturunan Adam, tersurat dalam al Qur’an

“kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kiri dan kanan mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS Al- A’raf ; 17).

Tekad setan terbukti sudah kegigihannya menggoda manusia dengan segala cara benar benar dengan konsisten dikerjakan, bisa jadi ditempat tempat kemaksiatan upaya setan menggoda sudah tak lagi berat, tetapi ditempat yang notabene sakralpun setan tak patah arang menjerumuskan manusia, prosesi ibadah seperti sholat, puasa dan bersedekah selalu setan menyelinap dengan membengkokkan niat, sholat yang sebegitu khusyu hanya dilakukan di tengah keramaian tak lagi diri bisa menjamin apakah bisa tuma’ninah apabila sholat sendiri, puasa dengan menahan lapar dahaga berhasil dikerjakan tapi akankah mampu menahan ucapan kotor dan hati yang hasud, sedekah yang dianjurkan ibarat tangan kanan memberi jangan sampai tangan kiri mengetahui sudah tak lagi diperhatikan, ada rasa bangga apabila nama tercantum dalam daftar pemberi sumbangan di rumah panti lengkap dengan jumlah uang yang disumbangkan.

Bermuhasabah

Senyampang nafas dikandung badan belum lewat waktu untuk bermuhasabah atau mengevaluasi diri. Seperti nasehat Umar r.a ‘Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia

Manusia diciptakan memiliki ruh dan nafsu, peperangan tiada akhir sampai ajal menjemput ini dipengaruhi banyak aspek. Latar belakang sosial ekonomi dan pengetahuan akan menjadi penentu sikap masing masing orang.Bahkan seorang manusia seberkualitas Nabi Adam pun pernah terseret dalam bujuk rayu setan untuk memakan buah terlarang, manusia searif Nabi Yunus pun pernah tertelan Ikan paus karena lari dari tanggung jawab musababnya umatnya selalu membangkang ajakan memeluk keyakinan yang benar, konon dalam rentang waktu dakwah selama 33 tahun beliau hanya mendapat dua pengikut yaitu Rubil dan Tanukh. Apalagi kita yang hanya manusia biasa, dengan tingkat keimanan yang masih ringkih berharap pamrih. Membumbungnya dosa bukan lagi alasan untuk tak segera memperbaiki diri.

“Sesungguhnya Allah gembira menerima taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian ketika menemukan kembali untanya yang hilang di padang yang luas.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menuju detik detik terakhir ramadhan saatnya kita merapatkan barisan shaft di masjid, sungguh beruntung setiap kita masih dititipkan nyawa. Banyak saudara kita yang sudah berpulang di awal ramadhan dan semoga kita tergolong orang yang bertaubat. Aminnn (wallahu a’lam bisawab – dan Allah mengetahui sebenar benarnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun